Apa Itu Ittibā' dan Muḥāsabah al Nafs?

 Apa Itu Ittibā' dan Muḥāsabah al Nafs?[1]

Sabtu, 2 Januari 2021 | 06:05

Oleh Muh. Thoriq Aziz Kusuma [Praktisi Studi Islam dan Arab]



Vokal Berdakwah,  –  Ittibā' dan Muḥāsabah al Nafs merupakan ajaran dari Nabi kita Muhammad, Saw. Maka semestinya kita tahu dan memahami kedua hal tersebut.

 

Apa itu Ittibā' dan Muḥāsabah al Nafs?

 

Ittibā' ialah mengikuti keteladanan Nabi, Saw., dalam hal keyakinan, perkataan dan berbuatan, serta penjauhan yang disertai dengan niat dan kemauan dalam hal-hal tersebut.

 

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

 

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." [QS. Al-Ahzab Ayat 21]

 

Rasulullah, Saw., adalah model percontohan dan keteladanan yang paling agung bagi seorang Muslim.


Tanda ittibā' Nabi, Saw., adalah sampainya seseorang pada kebahagiaan. Bahwa Rasulullah, Saw., adalah ciptaan yang paling sempurna dengan segala perilaku dan sifat yang bersumber dari kelapangan dada dan luasnya hati.

 

 أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ

 

"Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?," [QS. al-Insyirah Ayat 1]


Dengan jalan mengikuti Nabi, Saw., maka seseorang hamba akan memperoleh kelapangan dada dan kenikmatan jiwa.

 

وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا۟

 

"Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk." [QS. An-Nur Ayat 54]


ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سَوَاهُمَا،

 

“Tiga sifat yang jika ada pada diri seseorang, ia akan meraih manisnya iman: (1) Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya.” [HR. Muslim]

Ittibā' atau mengikuti Nabi, Saw., adalah sebab kebahagiaan, sebagaimana meninggalkan untuk mengikutinya adalah sebab dari sebuah kesengsaraan hidup.

 

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

 

"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah." [QS. Al-Hasyr Ayat 7]

 

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَنْ تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا

 

"Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka." [QS. An-Nisa' Ayat 80]

 

وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

 

"Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar." [QS. Al-Ahzab Ayat 71]

 

Lebih dari itu semua, bahwa kunci surga itu ada pada mengikuti sunah.

 

            كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى

 

"Setiap umatku masuk surga selain yang enggan, " Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, lantas siapa yang enggan?" Nabi menjawab: "Siapa yang taat kepadaku, masuk surga dan siapa yang membangkang aku berarti ia enggan."  [HR. al Bukhari]

 

Mengikuti Nabi, Saw., adalah cara agar dicintai oleh Allah, Swt.

 

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

 

"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS. Ali 'Imran Ayat 31]

 

 

Muḥāsabah al Nafs adalah tindakan mengintrospeksi diri, sebuah usaha koreksi dan pengamatan atas diri sendiri.


Introspeksi diri memiliki tempat penting dalam Islam. Tanpa introspeksi, kita tidak bisa berdiri di atas iman yang benar. Tanpa melakukan analisis diri, kita tidak dapat memurnikan diri kita sendiri untuk memilih jalan menuju surga. Introspeksi diriadalah pengamatan diri yang mengarah pada identifikasi dan koreksi pada kesalahan-kesalahan yang ada secara teratur, dan melindungi kita dari egoisme, kesombongan dan niat buruk.

 

Introspeksi berfungsi sebagai cermin, mencerminkan diri kita yang sebenarnya. Saat kita mengenal diri sendiri dan mengenali kesalahan, maka kita dapat mengoreksinya dan berbenah diri.

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

 

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." [QS. Al-Hasyr ayat 18]

 

Ibnu al Qayyim berkata dalam Igāṡah al Lahfān Juz 1 halaman 145, bahwa ayat di atas menunjukkan kewajiban menjalankan Muḥāsabah al Nafs adalah tindakan mengintrospeksi diri sendiri. Seseorang semestinya berpikir dan melihat ada yang telah ia kerjakan untuk kepentingan akheratnya? Apakah ia telah berbuat amal-amal kebaikan yang akan menyelamatkannya ataukah amal-amal keburukan yang akan membuatnya mendapat hukuman.

 

Muḥāsabah al Nafs ada dua macam, pertama sebelum beramal dan yang kedua setelah beramal.

 

Sebelum beramal seorang hamba seyogyanya berpikir terlebih dahulu apakah amalnya itu sesuai dengan kitabullah atau tidak? Sesuai dengan sunah Nabi, Saw., atau tidak? Apakah amal itu jika dikerjakan lebih baik dari pada ditinggalkan atau sebaliknya?

 

Yang kedua adalah introspeksi setelah beramal. Ini menjadi 4 macam.

1. Amal ketaatan yang sudh dikerjakan apakah sudah sesuai dengan yang dimaksudkan Allah, Swt., atau belum? Apakah ada yang kurang.

2. Menintrospeksi diri terhadap apa yang dilarang.

3. Menintrospeksi diri terhadap sebuah amal yang mana bila ditinggalkan itu lebih baik.

4. Menintrospeksi diri terhadap amal yang dibolehkan dan mengandung banyak manfaat.

 

Umar Ibn Khattab, Ra., berkata

 

حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَزِنُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُوزَنُوا، فَإِنَّهُ أَهْوَنُ فِي الْحِسَابِ غَدًا أَنْ تُحَاسِبُوا أَنْفُسَكُمُ الْيَوْمَ

"Bermuhasabahlah kalian pada diri kalian sebelum amal kalian dihisab, timbanglah amal diri kalian sebelum kalian ditimbang. Sesungguhnya hal itu lebih ringan bagi kalian besok di akhirat dengan kalian hisab diri kalian pada hari ini." [Igāṡah al Lahfān]

 

Beberapa Peristiwa yang Dapat Dijadikan Pelajaran dan Hikmah

 

1. Wabah Corona

 

Adalah iman kepada qadhā dan takdir Allah, Swt., merupakan salah satu dari rukun iman yang enam. Terlebih merupakan manifestasi dari iman kepada Allah, Swt. Mewakili ketetapan dan undang-undang dasar mengenai iman kepada takdir, yakni firman Allah, Swt., Q.S. Al-Qamar: 49.

 

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ

 

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan al-qadar (takdir).”

 

Oleh ‘Ubādah Ibn Al-Shāmit mengatakan kepada anaknya,

 

 يا بنى إنك لن تجد طعم حقيقة الإيمان حتى تعلم أن ما أصابك لم يكن ليخطئك وما أخطأك لم يكن ليصيبك سمعت رسول الله صلي الله عليه وسلم يقول : « إن أول ما خلق الله القلم، فقال له : اكتب. قال : رب وماذا أكتب ؟ قال : اكتب مقادير كل شيء حتى تقوم الساعة ». يا بنى إني سمعت رسول الله صلي الله عليه وسلم يقول : « من مات على غير هذا فليس منى »

 

(Wahai anakku sayang, sesungguhnya kamu tidak akan pernah mendapati rasa hakikat keimanan sehingga kamu mengetahui bahwa apa yang menimpamu (yang sudah ditakdirkan) maka tidak akan pernah meleset darimu dan apa yang belum menimpamu (yang belum ditakdirkan) maka tidak akan terkena kepadamu, aku telah medengar Rasulullah, Saw., bersabda: “Sesungguhnya pertama kali yang Allah ciptakan adalah pena,” lalu Ia berfirman kepadanya: “Tulislah”, pena bertanya: “Wahai Rabbku, apa yang aku tulis?”, Dia berfirman: “Tulislah takdir-takdir setiap sesuatu sampai dibangkitkan hari kiamat.” ‘Ubādah berkata: ”Wahai anakku sayang, sungguh aku telah mendengar Rasulullah, Saw., bersabda: “Barangsiapa yang meninggal di atas (keyakinan) selain ini, maka ia bukan dariku.”) [HR. Ahmad dan Abu Dawud]

 

Bersabda Rasulullah, Saw., kepada Ibnu ‘Abbas, Ra.,

 

واعلم أن الأمة لو اجتمعت على أن ينفعوك بشيء لم ينفعوك إلا بشيء قد كتبه الله لك، ولو اجتمعوا على أن يضروك بشيء لم يضروك إلا بشيء قد كتبه الله عليك رفعت الأقلام وجفت الصحف

 

“Dan ketahuilah, bahwa seluruh makhluk (di dunia ini), seandainya pun mereka bersatu untuk memberikan manfaat (kebaikan) bagimu, maka mereka tidak mampu melakukannya, kecuali dengan suatu (kebaikan) yang telah Allah tuliskan (takdirkan) bagimu, dan seandainya pun mereka bersatu untuk mencelakakanmu, maka mereka tidak mampu melakukannya, kecuali dengan suatu (keburukan) yang telah Allah tuliskan (takdirkan) akan menimpamu, pena (penulisan takdir) telah diangkat dan lembaran-lembarannya telah kering.” [HR. Ahmad]

 

Yang seharusnya bagi seorang Muslim untuk menyakini dengan keyakinan yang penuh, bahwasanya tiada ada fi’il atau amal perbuatan/aktivitas kecuali milik Allah, Swt., bahwa sesungguhnya segala yang terjadi, yang tidak terjadi dan yang akan terjadi  di alam jagad raya ini, adalah fi’il atau perbuatan Allah, Swt., bahwa sesungguhnya Allah, Swt. telah menetapkan fi’il ini sejak zaman azali (dahulu kala).

 

Terdapat hikmah yang agung, atau bisa juga dikatakan blessing in this guise, hikmah tersembunyi, pada masalah qadhā dan takdir ini, yakni hikmah cobaan atau ujian terhadap masalah rida kepada Allah, Swt. Manusia tidak mengetahui apa yang ditetapkan untuknya besuk, oleh sebab itu sudah menjadi haknya untuk berharap, dan berusaha untuk mewujudkan apa yang ia inginkan dengan jalan yang masyrū' (sah) dan diperbolehkan. Bahwa tatkala tidak terwujud apa yang menjadi cita-cita dan impiannya, dan berbeda apa yang disusun makhluk (manusia) dengan apa yang dikehendaki Sang Khalik, maka akan nampak iman yang hakiki. Jika apa yang disusun dan ditetapkan Sang Khalik lebih dicintai oleh makhluk ketimbang apa yang ia susun untuk dirinya sendiri, maka itulah mukmin yang saleh. Jika ia mencaci, enggan dan menolak, serta membenci apa yang disusun dan ditetapkan Sang Khalik, maka itulah pemaksiat yang pendek akal (bodoh). Dan tindakan seseorang yang tidak rela serta membenci ketetapan Sang Khalik mengakibatkan dirinya keluar dari millah (agama).

 

Iman kepada qadhā dan takdir adalah ekspresi nyata iman kepada Allah, Swt. Jika kamu beriman kepada wujud Allah,  Swt., kepada sifat-sifat kesempurnaan, kebesaran dan keindahanNya, maka kamu wajib beriman kepada konsekuensi dari sifat-sifatNya, yakni segala perbuatan-perbuatanNya, Swt. Iman kepada perbuatan-perbuatan Allah, Swt., ialah dengan beriman atau menyakini bahwa sesungguhnya tidak ada perbuatan kecuali milik Allah, Swt., semata, serta rida atas apa yang berasal dariNya di alam semesta ini, sehingga betul-betul menjadi hamba yang rabbani.

 

Tidak dinafikan antara keyakinanmu bahwa perbuatan adalah milik Allah semata, dan keberadaanmu yang dapat memilih dan berkeinginan. Sesungguhnya pilihan manusia dan keinginannya adalah sebuah kenyataan yang jelas dan nyata yang tidak dapat dipungkiri oleh orang yang berakal. Dan barangsiapa mengingkarinya, maka ia telah berdusta kepada kenyataan yang jelas dan nyata, serta berdusta kepada nash-nash Al-Quran, yang mana telah ditetapkan bagi manusia untuk memiliki kemampuan, keinginan dan pilihan.

 

Allah, Swt., berfirman:

وَهَدَيْنٰهُ النَّجْدَيْنِ ۚ 

 

"Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan)." [Q.S. Al-Balad : 10]

 

مِنْكُمْ مَّنْ يُّرِيْدُ الدُّنْيَا وَمِنْكُمْ مَّنْ يُّرِيْدُ الْاٰ خِرَةَ ۚ

 

"Di antara kamu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada (pula) orang yang menghendaki akhirat." [Q.S. Ali 'Imran : 152]

 

Maka yang sahih pada persoalan ini adalah kamu menetapkan pada dirimu perbuatan dan pilihan, dan kamu berkeyakinan bahwa Allah, Swt.,  adalah yang berbuat dan yang memiliki segala urusan, segala urusan tidaklah keluar dari wilayah kekuasaanNya.

 

Takdir adalah rahasia Allah, Swt., pada ciptaanNya. Oleh sebab itu sebagian orang-orang arif, seperi Abū 'Abbās Al-Harītsī menyatakan, barangsiapa melihat ciptaan dengan kacamata syariah maka akan melahirkan kebencian. Dan barangsiapa melihatnya dengan kacamata hakikat akan melahirkan pemakluman. Orang yang arif akan senantiasa berpandangan tajam terhadap ciptaanNya. Allah,  Swt., Maha Tinggi dan Maha Mengetahui.

 

2. Sedekah terbaik adalah dalam kondisi susah

 

Sesungguhnya sedekah di masa krisis Corona merupakan amalan sedekah yang paling agung, dan membantu orang-orang yang membutuhkan di musim wabah Corona merupakan wājib al-yaum, sebuah kewajiban saat ini.

 

Semua orang diseluruh dunia, tanpa terkecuali, menyaksikan munculnya pandemi virus Corona jenis baru dan membawa dampak ekonomi bagi semua orang baik di level bawah maupun atas. Utamanya mereka yang miskin, berpenghasilan terbatas dan pemilik usaha bisnis kecil-kecilan serta mereka yang tidak memiliki penghasilan permanen, sangat merasakan beratnya ketersandungan hidup di musim pandemi ini.

 

Sebuah kewajiban saat ini dalam krisis pandemi Corona adalah  memeriksa masing-masing dari kita, mengunjungi dan meninjau kondisi keluarga, kenalan, tetangga dan pekerja atau anak buah kita, kemudian untuk kita beri bantuan kepada mereka baik berupa uang dan makanan sebatas kemampuan kita. Karena pahala sedekah sangatlah agung, terlebih di musim Corona ini akan lebih agung lagi.

 

Dalam Shahīh Muslim, kitab Zakat, nomor hadis 1713 mengenai sedekah yang paling utama adalah saat kaya dan pelit.

 

حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الصَّدَقَةِ أَعْظَمُ فَقَالَ أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْغِنَى وَلَا تُمْهِلَ حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ الْحُلْقُومَ قُلْتَ لِفُلَانٍ كَذَا وَلِفُلَانٍ كَذَا أَلَا وَقَدْ كَانَ لِفُلَانٍ

 

Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Jarīr dari 'Umārah bin Al-Qa'qa' dari Abu Zur'ah dari Abu Hurairah ia berkata; Seorang laki-laki mendatangi Rasulullah, Saw., dan bertanya, "Wahai Rasulullah, sedekah yang bagaimanakah yang paling besar pahalanya?" maka beliau pun menjawab: "Yaitu kamu bersedekah saat sehat, kikir, takut miskin dan kamu berangan-angan untuk menjadi hartawan yang kaya raya. Dan janganlah kamu lalai hingga nyawamu sampai di tenggorokan dan barulah kamu bagi-bagikan sedekahmu, ini untuk si Fulan dan ini untuk Fulan. Dan ingatlah, bahwa harta itu memang untuk si Fulan."

 

Umumnya manusia di saat dirinya sehat, ia akan sulit sekali mengeluarkan sebagian hartanya untuk disedekahkan, karena ia menginginkan stable condition, keadaan hartanya tidak berkurang dan stabil, dan juga takut miskin.

 

Oleh sebab itu, adalah sangat dianjurkan mengeluarkan sebagian harta untuk disedekahkan di saat-saat tersebut dan sedekahnya menjadi sedekah yang paling utama (afḍal).

 

Akan halnya di saat kondisi sakit, seseorang akan lebih tanggap dan sensitif terhadap akhirat dan the world does not exist anything, dunia terasa tidak ada apa-apa, sehingga sangat mudah untuk mengeluarkan sedekah, berbeda halnya di saat kondisi sehat, setan lebih menang untuk menakut-nakuti manusia akan tertimpa kemiskinan.

 

Sedekah juga merupakan sebab mendapat keridaan Allah,Swt., sebab turunnya rahmatNya, dan menjaga hamba dari kemalangan bala, penyakit dan segala penghabisan.

 

صَنَائِعُ الْمَعْرُوفِ تَقِي مَصَارِعَ السَّوْءِ ، وَالصَّدَقَةُ خَفِيًّا تُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ

 

“Perbuatan kebaikan menahan kejadian buruk dan sedekah yang tersembunyi (dilakukan secara diam-diam) memadamkan kemurkaan Rabb." [HR. Al-Thabrani]

 

Sedekah memiliki efek yang menakjubkan di dalam menolak segala macam kemalangan, musibah dan pagebluk.

 

Sebagaimana wasiat Nabi Yahya, As., untuk Bani Israel,

 

وَآمُرُكُمْ بِالصَّدَقَةِ فَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَسَرَهُ الْعَدُوُّ فَأَوْثَقُوا يَدَهُ إِلَى عُنُقِهِ وَقَدَّمُوهُ لِيَضْرِبُوا عُنُقَهُ فَقَالَ أَنَا أَفْدِيهِ مِنْكُمْ بِالْقَلِيلِ وَالْكَثِيرِ فَفَدَى نَفْسَهُ مِنْهُمْ

 

“Dan Aku memerintah kalian untuk bersedekah, seperti perumpamaan seorang yang ditawan musuhnya, lalu tangannya di ikat di lehernya, kemudian ia dibawa untuk dipenggal lehernya, lalu ia berkata : saya mau menebus diriku dengan tebusan yang berjumlah sedikit dan banyak. Akhirnya ia berhasil menebus dirinya dari mereka” [Shahīh Al-Jāmi’].

 

Sejatinya seorang hamba tidak akan sampai kepada hakikat kebajikan melainkan dengan jalan sedekah.

 

Firman Allah, Swt., dalam QS. Ali 'Imran 3: Ayat 92 :

 

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ ۗ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ

 

"Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu, sungguh Allah Maha mengetahui."

 

Pentingnya Muḥāsabah al Nafs  dalam Kehidupan Sehari-hari

 

1. Orang yang mengintrospeksi dirinya ia akan mengetahui tentang kesalahan jiwanya, dan siapapun yang tidak melihat cacat dari dirinya maka tidak dapat dan tahu cara menghilangkannya.

 

2. Bukti rasa taut kepada Allah, Swt.,dan mempersiapkan bertemu denganNya.

 

3. Menjelaskan kepada orang yang beriman hakikat orang yang beruntung dan rugi.

 

4. Introspeksi diri di dunia membuat keuntungan untuk keperluan akherat.

 

5. Introspeksi diri adalah bagian dari perintah Allah, Swt., kepada orang-orang beriman.

 

6. Jauh dari perbuatan lalai, maksiat dan dosa.

 

7. Membantu orang Mukmin untuk mencapai kewajiban dan amalan-amalan sunah.

 

8. Introspeksi diri termasuk buah dari memperoleh cinta dan rida Allah, Swt.

 

9. Semakin tahu dan mengenal akan hak-hak Allah, Swt.

 

10. Dengan introspeksi diri membuat hati semakin baik dan menghindari dari kerusakan hati.

 

Kata-kata Motivasi untuk Selalu Produktif di Tahun 2021

 

Islam yang kita senandungkan adalah “Islam yang mengindahkan kegiatan pembangunan, bekerja dan berkarya unggul. Bukan islam yang terlena dengan pertikaian dan perdebatan yang tiada henti.

 

Karena sesungguhnya jika Allah menghendaki kejelekan kepada sebuah bangsa atau kaum, maka Allah sibukkan bangsa atau kaum tersebut dengan perdebatan yang tiada henti dan menghalangi mereka dari bekerja dan berkarya unggul.

 

Islam akan senantiasa menstimulasi setiap muslim untuk bekerja dan bergerak sebagai bentuk upaya mencari sebagian karunia Allah. Sehingga dengan bekerja tersebut, akan mengantarkan seorang muslim kepada kehidupan yang lebih terhormat dan bermartabat. Di samping itu ia juga bisa berkontribusi dan berperan aktif dalam memperkuat daya ekonomi dan nama baik umat dan bangsa.

 

Mengutip Pidato Bapak Pendiri Bangsa, Ir. Soekarno : " Yang mau hidup harus makan, yang dimakan hasil kerja, jika tidak bekerja tidak makan, jika tidak makan pasti mati. Itulah undang-undangnya dunia, itulah undang-undangnya hidup. Mau tidak mau semua makhluk harus menerima undang-undang ini. Terimalah undang-undang ini dengan jiwa yang besar dan merdeka, jiwa yang tidak menengadah melainkan kepada Tuhan."

 

Sejatinya dalam banyak ayat Al-Quran dan Hadist Nabi menyebutkan bahwa  perhatian Islam selalu fokus menstimulasi umatnya untuk rajin bekerja. Karena Islam memandang rajin bekerja merupakan akhlak yang sangat mulia. Firman Allah SWT :

 

وقل اعملوا فسيرى الله عملكم ورسوله والمؤمنون

 

“Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu.” (At-Taubah: 105)

 

Ayat ini mensyariatkan kepada umat Islam untuk beramal atau bekerja, dan melarang keras mereka untuk menganggur. Umat Islam harus berusaha bekerja dan lebih mulia lagi menciptakan lapangan pekerjaan untuk mereka yang membutuhkan pekerjaan. Selain itu ayat tersebut menuturkan kepada kita, bahwa selain diri kita sendiri ada tiga yang lain yang melihat, memperhatikan dan menghargai amal perbuatan dan pekerjaan kita. Pertama yaitu Allah SWT, Dialah Sang Khalik yang akan menetapkan balasan yang pantas untuk kita terima baik di dunia maupun di akherat kelak, dari amal pekerjaan kita.  Yang kedua adalah Rasulullah SAW,beliau juga akan menilai dan menghargai amal perbuatan kita yang nantinya juga turut bersaksi di hadapan Allah SWT. Dan yang ketiga ialah orang-orang beriman yang akan menilai dan menghargai pekerjaan kita sehingga akan memberikan upah dan bayaran yang sesuai dengan pekerjaan kita di dunia ini serta turut bersaksi terhadap amal ibadah dan pekerjaan kita di hadapan Allah kalak di akherat. Firman Allah SWT:

 

من عمل صالحا من ذكر أو أنثى وهو مؤمن فلنحيينه حياة طيبة ولنجزينهم أجرهم بأحسن ما كانوا يعملون


“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97)

 

هو الذي جعل لكم الأرض ذلولاً فامشوا في مناكبها وكلوا من رزقه وإليه النشور

 

“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (Al Mulk: 15)

 

Muatan yang terkandung dalam ayat diatas ialah perintah yang tegas dari Allah SWT kepada manusia untuk mencari rizeki, dan berusaha mendapatkan rizeki dengan jalan bekerja tanpa berleha-leha. Karena sesungguhnya Allah SWT menjadikan bumi itu mudah diatur untuk manusia, supaya manusia berusaha bekerja dan bergerak demi mendapatkan rezeki.

 

يا أيها الذين آمنوا إذا نودي للصلاة من يوم الجمعة فاسعوا إلى ذكر الله وذروا البيع

ذلكم خير لكم إن كنتم تعلمون  *  فإذا قضيت الصلاة فانتشروا في الأرض وابتغوا من فضل الله واذكروا الله كثيرا لعلكم تفلحون

 

 “Wahai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum´at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Al-Jumu'ah: 9-10)

 

Secara eksplisit ayat di atas memberikan lampu hijau kepada manusia untuk mengadakan jual-beli dan perdagangan setelah usai melaksanakan sholat Jumu'ah, dengan tujuan supaya manusia mendapat profit, margin, nilai manfaat atau keuntungan, serta supaya manusia memperoleh karunia Allah dengan jalan bergerak, giat bekerja keras, berkarya dan dengan melalukan dari kegiatan perdagangan.

 

يا أيها الإنسان إنك كادح إلى ربك كدحا فملاقيه

 

“Wahai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (Al-Insyiqaq: 6)

 

Sesungguhnya pondasi kehidupan dunia ini berdiri atas prinsip bekerja, bergerak, membanting tulang, berusaha dan mengambil sebab-sebab agar memperoleh rezeki. Bahwa manusia yang sudah bekerja keras, membanting tulang, bergerak dan berusaha, maka di akhir jalan ikhtiarnya itu ia akan memperoleh rezekinya.

 

Islam akan senantiasa menstimulasi setiap muslim untuk bekerja, bergerak dan berkarya sebagai bentuk upaya mencari sebagian karunia Allah. Sehingga dengan bekerja tersebut, akan mengantarkan seorang muslim kepada kehidupan yang lebih terhormat dan bermartabat. Di samping itu ia juga bisa berkontribusi dan berperan aktif dalam memperkuat daya ekonomi dan nama baik umat dan bangsanya.

 

Dalam buku miliknya Ali Ibn Sulthan Muhammad Al-Qaarii yang berjudul Mirqaatul Mafaatiih Syarh Misykaatil Mashaabiih (Jalan Atau Tangga Pembuka, Penjelasan dari Lentera Pemancar Cahaya), bab zakat, sub bab: “Perihal siapa yang tak layak meminta-minta dan siapa yang layak?” Ada sebuah Hadist Nabi SAW sangat bermakna sekali, berkaitan dengan pentingnya bekerja keras, membanting tulang dan berusaha mencari rezeki.

 

عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ اَنَّ رَجُلاً مِنَ اْلاَنْصَارِ اَتَى النَّبِيَّ ص يَسْأَلُهُ فَقَالَ: اَمَا فِى بَيْتِكَ شَيْءٌ؟ قَالَ: بَلَى حِلْسٌ نَلْبَسُ بَعْضَهُ، وَ نَبْسُطُ بَعْضَهُ وَ قَعْبٌ نَشْرَبُ فِيْهِ مِنَ اْلمَاءِ، قَالَ: ائْتِنِى بِهِمَا. فَاَتَاهُ بِهِمَا، فَاَخَذَهُمَا رَسُوْلُ اللهِ ص بِيَدِهِ وَ قَالَ: مَنْ يَشْتَرِى هذَيْنِ؟ قَالَ رَجُلٌ: اَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمٍ. قَالَ: مَنْ يَزِيْدُ عَلَى دِرْهَمٍ؟ مَرَّتَيْنِ اَوْ ثَلاَثًا. قَالَ رَجُلٌ: اَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمَيْنِ. فَاَعْطَاهُمَا اِيَّاهُ، وَ اَخَذَ الدّرْهَمَيْنِ فَاَعْطَاهُمَا اْلاَنْصَارِيَّ، وَ قَالَ: اِشْتَرِ بِاَحَدِهِمَا طَعَامًا فَانْبِذْهُ اِلَى اَهْلِكَ، وَ اشْتَرِ بِاْلآخَرِ قَدُّوْمًا فَائْتِنِى بِهِ، فَاَتَاهُ بِهِ فَشَدَّ فِيْهِ رَسُوْلُ اللهِ ص عُوْدًا بِيَدِهِ، ثُمَّ قَالَ لَهُ: اِذْهَبْ فَاحْتَطِبْ وَ بِعْ، وَ لاَ اَرَيَنَّكَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا. فَذَهَبَ الرَّجُلُ يَحْتَطِبُ وَ يَبِيْعُ، فَجَاءَ وَ قَدْ اَصَابَ عَشْرَةَ دَرَاهِمَ، فَاشْتَرَى بِبَعْضِهَا ثَوْبًا وَ بِبَعْضِهَا طَعَامًا، فَقَالَ  رَسُوْلُ اللهِ ص: هذَا خَيْرٌ لَكَ مِنْ اَنْ تَجِىءَ اَلْمَسْأَلَةُ نُكْتَةً فِى وَجْهِكَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ. اِنَّ اْلمَسْأَلَةَ لاَ تَصْلُحُ اِلاَّ بِثَلاَثَةٍ: لِذِى فَقْرٍ مُدْقِعٍ اَوْ لِذِى غُرْمٍ مُفْظِعٍ اَوْ دَمٍ مُوْجِعٍ.

رواه أبو داود

 

“Dari Anas bin Malik, bahwasanya ada seorang laki-laki Anshar datang kepada Nabi SAW lalu minta kepada beliau, maka beliau bertanya, “Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu ?”. Orang tersebut menjawab, “Ya, ada pakaian (pelana) unta yang sebagiannya kami pakai (sebagai tutup) dan sebagiannya kami hamparkan (sebagai tikar) dan sebuah bejana yang biasa kami minum air dengannya”. Nabi SAW bersabda, “Bawalah kepadaku dua barang itu”. Kemudian orang tersebut datang kepada beliau dengan membawa dua barang tersebut. Lalu Rasulullah SAW mengambil dua barang itu dengan tangan beliau dan bersabda, “Siapa yang mau membeli dua barang ini ?”. Lalu ada seorang laki-laki berkata, “Saya mau mengambil dua barang itu dengan satu dirham”. Rasulullah SAW bersabda  lagi, “Siapa yang mau menambah dari satu dirham ?”. Beliau bersabda demikian dua atau tiga kali. Lalu ada seorang laki-laki berkata, “Saya mau mengambil kedua barang itu dengan dua dirham”. Maka Rasulullah SAW memberikan dua barang itu kepada orang tersebut. Setelah Rasulullah SAW menerima uang dua dirham tersebut lalu beliau berikan kepada orang Anshar yang punya barang tersebut sambil bersabda, “Belilah makanan dengan uang yang satu dirham ini lalu berikan kepada keluargamu, dan yang satu dirham belikan kapak lalu bawalah kepadaku. Kemudian orang laki-laki tersebut datang kepada beliau dengan membawa kapak. Maka Rasulullah SAW memasang pegangan kapak tersebut dengan sebatang kayu dengan tangan beliau, kemudian bersabda, “Pergilah mencari kayu bakar dan juallah ! Dan jangan sampai aku melihat kamu selama lima belas hari”. Lalu orang tersebut pergi untuk mencari kayu bakar dan menjualnya. Kemudian (setelah lima belas hari) orang laki-laki tersebut datang kepada beliau dan sudah mendapatkan hasil sepuluh dirham, yang sebagian untuk membeli pakaian dan yang sebagian untuk membeli makanan. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Yang demikian itu lebih baik bagimu dari pada kamu datang meminta-minta, karena meminta-minta itu akan membekaskan noda di wajahmu pada hari qiyamat. Sesungguhnya minta-minta itu tidak pantas dilakukan kecuali oleh tiga golongan, yaitu orang yang sangat faqir, atau orang yang terbeban hutang, atau orang yang harus membayar diyat (tebusan) yang sangat memberatkan”. (HR. Abu Dawud)

 

Hadits panjang di atas jelas sekali merupakan stimulasi dan anjuran langsung dari Rasulullah SAW untuk bekerja meskipun dalam kondisi yang seba sulit, serta anjuran untuk menjahui kehinaan dan sikap meminta-minta. Karena sejatinya bekerja adalah perbuatan yang mulia, meskipun perolehannya secara kasat mata tak seberapa.

 

Islam sangat menghormati sekali kepada siapa yang mau bekerja, bahkan Islam amat sangat menghormati perilaku bekerja (tindakan dan sikap bekerja). Dalam sebuah Hadist, Nabi SAW bersabda:

 

إِن قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا تَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا

 

“Jika tegak hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas. Maka jika ia mampu sebelum tegak hari kiamat untuk menanamnya, maka tanamlah.” (HR Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrod)

 

Menurut pembacaan guru saya yang mulia, Prof. Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Presiden Persatuan Internasional Ulama Muslim, Hadist tersebut menceritakan bahwa jika kiamat akan tegak dan di tangan salah seorang dari kita ada sebuah tunas (batang kayu bakal tumbuhan), bahwa jika ia mampu untuk memanaamnya, maka menurut perintah tersurat dari Hadist ini, tanamlah! Padalah kiamat akan tegak, dan secara logika siapa yang akan merawat bakal tumbuhan tersebut, siapa yang akan mengairinya, dan meskipun akan berbuah, siapa yang akan memetik hasilnya? Padahal kiamat akan terjadi. Hadist ini berisi penghormatan terhadap perbuatan atau tindakan bekerja (menanam).

Mari kita kupas poin-poin mendalam yang dapat kita petik dari hadist ini, antara lain:  

 

1.     Dorongan kepada seorang muslim untuk mengunakan momentum sampai titik darah penghabisan dalam hidupnya untuk bekerja dan beramal shaleh.

2.     Seorang muslim tidak boleh berhenti bekerja dan berbuat kebajikan sampai akhir hajatnya.

3.     Seorang muslim harus bergerak, berkarya, produktif dan bernilai guna tinggi bagi diri dan masyarakatnya.

4.     Seorang muslim harus benar-benar memperhatikan waktunya dan mengisinya untuk bekerja dan beramal kebajikan.

5.     Seorang muslim harus selalu memancarkan aura positif, berikap optimis dan penuh cita-cita.

6.     Agama kita menyuru untuk bekerja keras, membanting tulang, dan berusaha untuk menggapai tangga-tangga keberhasilan, dan melarang kita untuk berleha-leha, bersikap lemah dan malas.

 

Bekerja untuk kepentingan dunia merupakan tuntutan agama, sebagaimana bekerja untuk kepentingan akherat. Hal yang paling penting ialah ketepatan niat dan tujuan. Sabda Nabi, Saw.

 

إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى

 

“Sesungguhnya setiap  perbuatan tergantung niatnya.  Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan.” (Muttafaq 'Alaih)

Islam yang kita senandungkan adalah “Islam yang mengindahkan kegiatan pembangunan, bekerja dan berkarya unggul. Bukan islam yang terlena dengan pertikaian dan perdebatan yang tiada henti. Karena sesungguhnya jika Allah menghendaki kejelekan kepada sebuah bangsa atau kaum, maka Allah sibukkan bangsa atau kaum tersebut dengan perdebatan yang tiada henti dan menghalangi mereka dari bekerja dan berkarya unggul. 

 

Mengutip perkataan Prof. Dr. Yusuf Al-Qardhawi:

 

ﻟﻴﺲ ﻓﻲ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻋﻤﻞ ﺣﻘﻴﺮ  ..  ﻓﺎﻋﻤﻞ ﺃﻱَّ ﻋﻤﻞ ﻣﺒﺎﺡ،  ﻭﻻ ﺗﻜﻦ ﻋﺎﻟﺔ ﻋﻠﻰ ﻏﻴﺮﻙ

 

Artinya : “Dalam islam tidak ada pekerjaan yang hina. Bekerjalah apa saja yang diperbolehkan (dalam islam), dan jangan jadikan dirimu bergantung pada orang lain.”

 

Wa Allāhu A'lam wa A'lā.

 



[1] Disampaikan pada kajian Islam di RS. Gigi dan Mulut Soelastri Kota Surakarta pada hari Sabtu (2/1/2021) pagi.

0 Comments