Aku (Ketua MPA-PPMI Mesir 2016-2017) bersama Najmuddin Rasyad (Wakil Ketua II MPA-PPMI Mesir 2016-2017). |
Mungkin judul tulisan saya ini dinilai sangat subjektif atau
bagaimana begitu, tapi itu terserah pembaca bagaimana melihatnya. Yang jelas
saya ingin mengutarakan pandangan, buah pikiran saya terhadap putusan
pemerintah yang saya nilai kurang arif tadi.
Sebelum saya mengekspresikan tanggapan dan pendapat saya, saya
ingin sampaikan terlebih dahulu bebarapa hal yang mungkin amat sangat
berkaitan, kanapa Temus Timur Tengah tetap harus dipertahankan bahkan mungkin
kiranya harus lebih diperhatikan.
Tidak bisa dipungkiri memang, bahwa mahasiswa di mana pun
keberadaannya dan kapan pun, sudah menjadi sebuah kemestian bahwa merekalah
salah satu kekuatan pelopor paling revelan di setiap perubahan, baik itu
perubahan politik, ekonomi, sosial dan lain-lain. Masih hangat diigatan kita
peristiwa reformasi 98 yang diujung tombaki mahasiswa telah berhasil
menghembuskan angin segar bagi Indonesia, sehingga Indonesia berubah wajah
menjadi lebih demokratis, hak-hak kebebasan berpendapat sudah bisa dinikmati,
bahkan hak-hak politik rakyat sudah betul-betul bisa dirasakan, buktinya pasca
amandemen tahap ke-empat, sudah tiga kali pilpres dan pileg berjalan dengan
lancar.
Namun pembaca yang budiman, ada kekhawatiran, keprihatinan yang
cukup mendalam melihat fenomena global akhir-akhir ini, dimana moralitas
keagamaan, kemanusiaan makin surup seiring kencangnya angin globalisasi
yang makin dahsyat.
Semisal adanya isyarat bahwa westco maniac semakin jamak dan
berlipat-lipat melanda semua kalangan, tidak terkecuali pelajar dan mahasiswa,
bahkan juga beberapa elit negeri yang kebetulan berada di tampuk kekuasaan
telah terjangkiti penyakit namanya westco maniac atau maniak barat. Westco maniac
ini semacam fikrah hidup yang meniru gaya hidup orang barat, baik itu pola penalarannya, akal dan budi
pekertinya, model makanan dan cara berpakaiannya, dan semua. Pada intinya
westco maniac ini adalah meniru dan mendewakan barat tanpa kontrol di segala
hal, bahwa barat itu hebat, barat tanpa cacat dan keliru, barat superior dan
kita inferior, dan kita harus meniru dan menjunjung tinggi apa yang datang dari
barat.
Kemudian yang lebih ironi lagi, menurut catatan BNN di tahun 2014
itu, mencatat 22 persen pengguna narkoba
di Indonesia merupakan pelajar dan mahasiswa, belum lagi ramai berita terdengar
pertikaian antar pelajar dan mahasiwa,
kebiasaan kumpul kebo atau samenleven yang sudah mulai meluas, moral
kejujuran pada diri pelajar dan mahasiwa yang sudah mulai terkikis dan lain
sebagainya. Ini semua menjadi problem serius bangsa Indonesia saat ini dan
kedepan.
Amiir Asy-Syu'ara
atau Pemimpin Para Penyair, Ahmad Sauqi mengatakan dalam bait-bait syairnya :
إنما الامم الاخلاق ما بقيت # فان هم ذهبت اخلاقهم ذهبوا
واذا اصيب القوم في اخلاقهم # فاقم عليهم مآتما وعويلا
صلاح امرك للاخلاق مرجعه # فقوم النفس بالاخلاق تستقم
Artinya : “Sesungguhnya kejayaan suatu umat (bangsa) terletak pada
akhlaknya selagi mereka masih berakhlak dan berbudi perangai utama, jika pada
mereka telah hilang akhlaknya, maka jatuhlah umat (bangsa) itu. Jika suatu
bangsa terserang moralitasnya (tak berakhlak), maka bisa dihukumi kondisi
mereka susah dan penuh ratapan. Perbaikan pada perkara akhlak menjadi acuan
dasar, oleh sebab itu peliharalah dirimu dengan akhlak maka jalanmu akan
mulus.”
Syair di atas menuturkan bahwa kejayaan dan kemuliaan suatu bangsa
terletak pada moral bangsa tersebut. Jikalau bangsa tersebut tidak bermoral,
tidak jujur, suka berbohong, banyak pelacuran, narkoba menjadi-jadi, maka
hancurlah bangsa tersebut dan bisa dikatakan tidak bakal memiliki masa depan
yang cerah.
Ditambah satu klise lagi, jika suatu bangsa terserang moralitasnya
maka bangsa itu sedang dirundung masalah yang amat sangat serius, karena bangsa
itu akan menjadi bangsa yang rusak, menjadi bangsa yang brobrok, tidak jujur,
moralnya rendah, narkoba dimana-mana, gaya hidup samenleven sudah menjadi
kebiasaan, akhirnya hari-hari bangsa tersebut akan dirundung malang, penuh
dengan kesusahan dan ratapan yang luar biasa.
Saudara pembaca yang budiman, jika kita melihat dengan kaca mata
yang jujur, cerdas dan berani kritis, sesungguhnya bangsa kita sedang dirundung
sakit, yaitu sakit moral. Lihatlah generasi muda anak-anak bangsa sekarang,
mereka lebih senang berkicau dan ngobrol di malam hari, berbuat yang sia-sia,
dan gemar pergi ke tempat-tempat hiburan, sampai-sampai sebagian dari mereka
minum khamar yang memabukkan dan berbahaya serta mengkonsumsi narkoba yang
mematikan, bahkan pelan-pelan budaya atau gaya hidup samenleven sudah menjadi hal yang sifatnya prevalensi.
Mereka juga lebih senang acara-acara yang bersifat hiburan dibandingkan
acara-acara yang sifatnya pendidikan dan pengajian.
Saya jujur gagal memahami, saya diberi kesempatan Allah untuk
berlibur pulang ke tanah air, dan saya mendapat kesempatan mengajar di sebuah SMP
swasta di dekat tempat tinggal saya. Saya betul-betul melihat iklim dan kondisi
moral pada diri anak didik yang cukup mengkhawatirkan. Bagaimana tidak? Usia
kelas satu SMP sudah merokok, sudah mencicipi minuman-minuman yang berbahaya,
bahkan melakukan hal-hal yang aneh-aneh. Saya melihat itu miris dan bersedih
hati. Tidak kurang, saya juga melihat acara-acara televisi yang isinya banyak
mengandung unsur-unsur hiburan yang eksesif, melampaui batas kelaziman, bahkan
sedikit ada pornonya. Coba bayangkan, acara hiburan, joget-joget tiap hari di
jam-jam kerja dan jam-jam anak sekolah, malahan ada anak-anak sekolah yang ikut
serta, pakai seragam sekolah bahkan, ikut megal-megol, jingkrak-jingkrak luar
biasa, tertawa terbawak-bawak, dan mungkin itu juga bolos sekolah. Saya gagal
memahami di dunia ini tidak ada negeri yang seperti itu, hari-harinya diisi
dengan hal-hal yang seperti itu tadi.
Nah saya berpikir jikalau pihak pemerintah melakukan pendidikan
moral dan karakter terhadap anak-anak bangsa, lewat sekolahan-sekolahan,
universitas-universitas, pondok pesanteran, seminar-seminar dan lain-lain. Tapi
kondisi di luar itu semuanya dipenuhi dengan entertainment yang lebih kurang
destruktif, maka sesungguhnya kita perlu banyak belajar dan menata strategi.
Saya kembali mengutip perkataan Syauqi :
متى يبلغ البنيان يوما
كماله # إذا كنت تبنيه وغيرك يهدم
Artinya : “ Kapan berakhinya pendirian bangunan ini selesai, jika
kamu membangunnya, dan yang lain menghancurkan.”
Sya’ir di atas menerangkan jika kita anak-anak bangsa ini bersama
pemerintah membangun moral dan karakter bangsa lewat pendidikan, tetapi ada
sebagian besar dari anak-anak bangsa yang lain atau ada unsur luar yang
menghancurkan karakter bangsa kita, maka sesungguhnya kita dalam bahaya. Dan
untuk melawan itu perlu langkah-langkah dan strategi yang cerdas. Konklusi
singkat yang ingin saya sampaikan ialah bahwa moral atau budi pekerti adalah
rahasia kesuksesan suatu bangsa.
Mahasiswa
Mesir
Pembaca yang budian, Mahasiswa Indonesia di Mesir adalah merupakan
salah satu jawaban terkuat dari problematika moral bangsa di atas. Kami yang
notabenenya belajar ilmu agama akan ikut serta berperan aktif dalam membangun
karakter, moral dan budi pekerti anak-anak bangsa. Mengingat negara kita adalah
negara yang berasaskan pancasila, yang sila pertama berbunyi “Ketuhanan yang Maha
Esa”, dimana negara secara formal memproklamasikan bahwa negara ini berpijak
pada nilai-nilai ketuhanan, nilai-nilai kegamanaan. Ditambah lagi sila kedua
berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, sila yang menyatakan bahwa negeri
ini konstitusinya memaksa warganya untuk menjunjung tinggi moratitas, supaya
menjadi bangsa yang berperadaban tinggi dengan moral dan budi pekertinya.
Bahkan jika kita ingin flesblack jauh kebelakang, kontribusi
mahasiswa Indonesia di Mesir terhadap kemerdekaan Republik Indonesia cukup
diperhitungkan. Bagaimana mahasiwa kita waktu itu mampu membangun opini,
bermanuver, melobi ke berbagai kekuatan masyarakat di Mesir, hingga akhirnya
Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Ada semboyan
Bung Karno, Sang Proklamator, Sang Pendiri Republik ini, yang mengatakan
“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” atau yang sering disingkat Jasmerah.
Jadi memang nyata dan ada kontribusi mahasiswa Indonesia di Mesir dalam proses
kemerdekaan Indonesia, dan itu dicatat dalam sejarah.
Saya menceritakan itu bukan
bermaksud apa-apa, hanya saja mengingatkan sejarah berdirinya republik ini,
bahwa masyarakat, publik Indonesia, komunitas Indonesia, Mahasiswa Indonesia di
Mesir ini memiliki peran dan kedudukan yang strategis dalam proses kemerdekaan,
dan tentu dalam perjalanannya mahasiswa Indonesia di Mesir harus dilibatkan
dalam mekanisme dan praktik pembangunan bangsa dan masyarakat Indonesia secara
umum.
Terus terang saya katakan, mahasiswa Indonesia di Kairo ini sudah
passing grade dari keterampilannya dalam berbahasa, beroganisasi dan
berkolerasi dengan bangsa-bangsa lain, serta mampu berdinamika, bersosial yang
cukup membanggakan. Kami di sini tanpa beasiswa pemerintah, tapi kami masih
bisa kuliah, bisa beli buku, masih bisa jajan ala kadarnya, dan karena
posisinya di luar negeri, ini luar biasa. Saya tidak kok membaik-baikkan
mahasiswa sini, tidak. Tetapi memang prestasi kita secara akademik, di
sana-sini masih banyak kelemahan dan harus diperbaiki.
Pembaca yang budiman, sebagian besar mahasiswa kita di Mesir
belajar dan menimba ilmu di Universitas Al-Azhar. Al-Azhar bagi kami adalah
kawah candera dimuka, tempat penyemaian, pengemblengan, penggodokan dari
minoritas anak-anak bangsa yang mengkaji dan menggeluti ilmu agama dan moral
secara formal. Maka harapan kami yang kuliah di sini, ke depannya kami akan
menjadi bagian dari solusi membangun karakter bangsa yang di atas tadi saya
utarakan.
Masalah Kuota Temus Yang Dipangkas
Bahwa sesungguhnya telah terjadi ketetapan pemangkasan jumlah kuota
Tenaga Musiman (Temus) haji untuk mahasiswa Timur Tengah pada tahun 2017, yang
sebelumnya berjumlah 125 menjadi 85 kuota saja, dan telah disahkan oleh Komisi
8 DPR RI di Jakarta. Hal ini sangat menyakitkan bagi kami generasi muda anak
bangsa yang kebetulan belajar di Timur Tengah (Mesir).
Kenapa menyakitkan? Secara
terbuka saya katakana di sini, saya dan juga teman-teman mahasiswa Indonesia di
Mesir adalah bagian dari ekspresi anak negeri. Sejujurnya memang kami merasa
dianak tirikan oleh pemerintah, beasiswa tidak ada, kemudian di sini pun kami punya asrama tapi
juga belum bisa difungsikan, alumni dari Timur Tengah tidak begitu direspon
positif oleh pemerintah. Jadi semuanya serba tidak atau belum berpihak ke kami.
Pun semisal temus kami pandang sebagai beasiswa non formal dari
pemerintah, tapi kok malah dipangkas dari tahun ke tahun, bukannya tetap
dipertahannkan oleh pemerintah, atau bahkan ditambah sebagai bentuk dukungan
kepada generasi anak bangsa. Ditambah lagi kebijakan pemangkasan jumlah kuota
temus sangat sepihak, artinya kami tidak dilibatkan dalam berembuk dan
bermusyawarah, padahal kami-kami ini bakal terkena konsekuensi dari kebijakan
itu.
Pendek kata begini, ini saya rumuskan secara singkat bahwa Temus
bagi mahasiswa Indonesia khususnya yang di Mesir, memiliki arti dan nilai
amanat yang relatif besar. Selain sebagai manifestasi ilmu keagamaan, juga
sebagai bentuk kontribusi nyata sosial-kemasyarakatan yang sangat mulia. Dari
pada itu dengan adanya Temus, mahasiwa Indonesia di Mesir mampu memberi peran
dan sokongan terhadap jalannya proses kegiatan sosial-kemahasiwaan yang
merupakan bagian dari spirit dan identitas mahasiwa sebagai generasi muda
bangsa. Sehingga pemangkasan kuota Temus tersebut, akan berimplikasi tinggi
terhadap kondisi dinamika sosial-kemahasiswaan yang ada. Itu artinya juga
berimplikasi terhadap menyurutnya intensifikasi di masa depan, menimbang
mahasiwa Indonesia di Mesir juga merupakan bagian dari anak-anak muda bangsa,
generasi penerus bangsa, generasi pemilik masa depan.
Secara dekuksi saya simpulkan bahwa dengan adanya Temus, mahasiwa
Indonesia di Mesir mampu menyokong kegiatan-kegiatan sosial-kemahasiswaan
sebagai sebuah dinamika pembelajaran dan kedewasaan. Dana sumbangan dari para
Temus-Temus yang ada di Mesir ini menjadi spirit vitalitas dan nasib organisasi
dan dinamika sosial-kemahasiswaan yang ada di sini. Jadi jika jumlah kuota
Temus itu dipangkas, berarti secara tidak langsung, perlahan-lahan juga
membabat habis spirit vitalitas dan nasib organisasi kemahasiswaan Indonesia di
Mesir.
Benar, memang secara eksplisit saya menyadari adanya pemangkasan
jumlah kuota Temus Timteng dari tahun ke tahun. Saya ulangi lagi, bahwa hal ini
sangat menyayat perasaan saya dan juga teman-teman yang ada di dini, sekaligus
menambah luka di hati. Bagaimana tidak? Temus bagi kami-kami di sini, mahasiswa
Indonesia di Mesir ini, selain sebuah manifestasi ilmu dan bentuk kontribusi
nyata kami dalam kegiatan sosial-kemahasiswaan, juga kami anggap sebagai bentuk perhatian (beasiswa
non formal) pemerintah Indonesia kepada kami, mengingat pemerintah Indonesia
belum mampu memberikan beasiswa formal kepada kami yang sedang menjalankan
tugas belajar di Mesir.
Ketetapan pemangkasan jumlah kuota Temus tersebut, saya nilai
sangat tidak adil dan cenderung ada ketimpangan. Sebagai komponen anak bangsa
yang akan menerima imbasnya langsung dengan adanya pemotongan jumlah tersebut.
Kebetulan saya tahun ini diamanati menjadi Ketua MPA PPMI Mesir, saya
perhatikan, mahasiswa Indonesia di Mesir sama sekali belum diajak musyawarat
terkait hal itu. Sehingga kebijakan pemangkasan jumlah kuota Temus untuk
Timteng itu mengalami kecacatan, karena tidak ada unsur kepantasan berdialog
bersama yang melibatkan semua unsur yang bersangkutan, sampai kemudian ada lagi
pihak-pihak yang merasa terzalimi dan terkecewakan.
Sebagai rumpun cendikiawan, kaum civitas akademika, sesungguhnya
saya dan teman-teman di Mesir ini sudah melakukan musyawarah akbar membahas
masalah pemangkasan jumlah kuota temus dan melibatkan lembaga-lembaga
kemahasiwaan yang ada. Musyawarah tersebut menghasilkan sebuah konsensus
bersama, bahwa intinya kami-kami di sini menolak ketetapan pemangkasan jumlah
kuota temus dengan berbagai dalil argumentatif yang sangat cerdas, logis dan
bestari. Maka demi menyalurkan dan mengawal konsensus tersebut, saya pun
menulis tulisan ini sebagai bentuk kebebasan berpendapat, dan mencari soslusi
yang arif dan bijak.
Dimana Letak Implikasi Temus Terhadap Tingkat Kualifikasi Mahasiswa
di Kairo?
Di atas tadi saya katakan Temus memiliki arti dan nilai amanat yang
relatif besar bagi mahasiswa Indonesia di Mesir. Selain sebagai manifestasi
ilmu keagamaan, juga sebagai bentuk kontribusi nyata sosial-kemasyarakatan yang
sangat mulia. Dengan adanya Temus, mahasiwa mampu memberi peran dan sokongan
terhadap jalannya proses kegiatan sosial-kemahasiwaan yang merupakan bagian
dari spirit dan identitas mahasiwa sebagai generasi muda bangsa. Sehingga dana
sumbangan dari para Temus-Temus yang ada di Mesir ini menjadi spirit vitalitas
dan nasib organisasi dan dinamika sosial-kemahasiswaan yang ada di sini.
Terjemahan dari itu semua apa? Bahwa pemangkasan jumlah kuota Temus
bisa mengakibatkan melemahnya dinamika sosial kemahasiwaan. Dan jika mahasiswa
miskin dari berdinamika dan bergerak, maka saya takut ke depannya bisa
berimplikasi terhadap masa depan Indonesia. Bagaimanapun yang saya ungkapkan di
atas tadi, Indonesia gawat moral. Dan jika mahasiswa Kairo yang harusnya berada
di vanguard, mempelopori, dan menawarkan resep-resep berbudi pekerti luhur jauh
dari kata memadai, karena dulunya kurang dalam berdinamika dan bergerak,
disebabkan tidak ada spirit vitalitas berorganisasi. Mengingat berorganisasi
sebagai sarana pembelajaran dan pendewasaan demi bekal menapaki masa depan
bangsa yang lebih cerah.
Sehingga ketetapan pemangkasan jumlah kuota Temus untuk Timur
Tengah termasuk Mesir sangat mempengaruhi spirit vitalitas dan nasib
berorganisasi dan bersosial di sini, maka putusan itu sangat tidak ideal dan
cenderung tidak arif dan bijak.
Kairo, 23 April 2017
Salam Penulis,
M. Thoriq Aziz, Mahasiswa Tingkat IV Fakultas Studi Islam dan
Bahasa Arab Putera, Universitas Al-Azhar Kairo.
0 Comments