Cara Mengetahui Apakah Allah Rida padamu

  


Cara Mengetahui Apakah Allah Rida padamu[1] 

Rida Allah

Rida Allah Ta'ala adalah tujuan tertinggi yang diupayakan oleh setiap Muslim sejati dalam seluruh aspek kehidupannya. Tidak hanya sekadar diukur melalui tindakan yang tampak, namun rida ini juga mencakup ucapan, niat, dan bahkan setiap gerak dan diamnya. Seorang Muslim yang tulus menyadari bahwa segala hal yang dilakukannya, sekecil apa pun, memiliki dimensi spiritual yang berhubungan langsung dengan Allah. Oleh karena itu, kesadaran ini mendorongnya untuk terus memperbaiki diri, meningkatkan kualitas ibadah, serta menjaga ketulusan niat agar tetap murni hanya untuk meraih keridaan-Nya.

Dalam menjalani hidup, seorang Muslim yang berfokus pada rida Allah akan selalu mengingat tujuan utama dari eksistensinya di dunia ini. Bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan duniawi, tetapi lebih dari itu, ia memahami bahwa hidup ini adalah medan ujian untuk menunjukkan seberapa besar ketaatan dan kecintaannya kepada Sang Pencipta. Pemahaman ini menjadi landasan dalam setiap langkah dan keputusan yang diambilnya, dari perkara kecil hingga besar, dari hal yang tampak hingga yang tersembunyi. Sehingga, setiap tindakan yang dilakukan bukan hanya sekadar rutinitas, tetapi sebuah persembahan yang disertai niat tulus untuk Allah semata.

Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

"Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah SWT, Tuhan semesta alam." (QS. Al-An'am: 162).[2]

Ayat ini menjadi pedoman bagi seorang Muslim untuk selalu menjaga keselarasan antara niat, ucapan, dan perbuatan. Segala sesuatu yang dilakukan harus senantiasa ditujukan hanya kepada Allah, tanpa ada pamrih atau harapan selain keridaan-Nya. Ini menuntut seorang Muslim untuk senantiasa introspeksi dan memperbaiki niatnya agar tetap lurus dan bersih dari segala bentuk riya' atau keinginan mendapatkan pujian dari manusia.

وَقَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ﴾؛ أيْ: صَلَاتِي كُلُّهَا بِالَّيْلِ وَالنَّهَارِ. ﴿وَنُسُكِي﴾؛ أيْ: حَجِّي وَعُمْرَتِي، وَقِيلَ: أيْ: قِرَاءَتِي، وَقِيلَ: أيْ عِبَادَتِي، وَقِيلَ: أيْ دِينِي.

﴿وَمَحْيَايَ﴾؛ أيْ: مَا أَعْمَلُهُ فِي حَيَاتِي.

﴿وَمَمَاتِي﴾؛ أيْ: مَا أُوصِي بِهِ بَعْدَ مَوْتِي أَنْ يُعْمَلَ بِهِ.

﴿لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ﴾؛ أيْ: هُوَ خَالِصٌ لَهُ.

Firman Allah SWT: "Katakanlah, sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah SWT, Tuhan semesta alam." Artinya: salatku seluruhnya, baik di malam maupun siang.

"Dan ibadahku”; artinya: haji dan umrah ku, dan ada yang mengatakan: maksudnya adalah bacaanku (Al-Qur'an), ada juga yang mengatakan: maksudnya adalah semua bentuk ibadahku, dan ada yang mengatakan: ini berarti agamaku.

"Dan hidupku"; artinya: apa yang aku lakukan dalam kehidupanku.

"Dan matiku"; artinya: apa yang aku wasiatkan setelah kematianku agar dilaksanakan.

"Untuk Allah, Tuhan semesta alam"; artinya: semua ini ditujukan semata-mata untuk-Nya.[3]


﴿قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي﴾ أَيْ عِبَادَتِي وَالنُّسُكُ الْعَابِدُ أَوْ ذَبْحِي أَوْ حَجِّي ﴿وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي﴾ وَمَا أَتَيْتُهُ فِي حَيَاتِي وَأَمُوتُ عَلَيْهِ مِنَ الإِيمَانِ وَالْعِلْمِ الصَّالِحِ ﴿لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ﴾

"Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah SWT, Tuhan semesta alam." “Katakanlah, sesungguhnya shalatku dan ibadahku" artinya adalah semua bentuk ibadah yang saya lakukan, dan "ibadah" di sini mencakup berbagai jenis ibadah seperti penyembelihan hewan kurban atau haji. "Dan hidupku serta matiku" menunjukkan apa yang saya lakukan selama hidup dan apa yang saya akan bawa ketika mati, yaitu iman dan ilmu yang baik. "Untuk Allah, Tuhan semesta alam" berarti semua ini ditujukan semata-mata untuk mendapatkan rida-Nya.[4] Dengan demikian, ayat ini menegaskan pentingnya keikhlasan dan tujuan dalam setiap aspek kehidupan seorang Muslim, baik dalam ibadah maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu, meraih rida Allah tidak hanya melibatkan ibadah ritual semata, tetapi juga bagaimana seseorang menjalani kehidupan sehari-hari. Ketika seorang Muslim bekerja, bersosialisasi, atau bahkan bersantai, ia tetap berusaha menjaga agar niatnya selalu dalam bingkai keridaan Allah. Segala aspek kehidupan, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi, diarahkan untuk menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah. Dengan cara ini, seluruh hidupnya menjadi ibadah yang tidak terpisahkan dari upaya meraih rida Ilahi.

Akhirnya, tujuan hidup seorang Muslim adalah untuk mencapai keridaan Allah Ta'ala. Ini adalah jalan yang membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan ketulusan dalam setiap langkah. Setiap tantangan yang dihadapi, setiap godaan yang menggoda, semuanya dilihat sebagai ujian yang harus dilalui dengan penuh kesadaran akan tujuan akhir yang lebih besar. Dengan terus memperbarui niat dan mengingat Allah dalam setiap aspek kehidupan, seorang Muslim dapat mendekatkan diri kepada-Nya dan meraih keridaan yang menjadi puncak kebahagiaan sejati.

Rida Allah Ta'ala adalah tujuan utama bagi setiap Muslim yang beriman. Konsep ini menggarisbawahi betapa pentingnya mencapai keridaan Allah dalam setiap aspek kehidupan. Kata "rida" sering kali muncul dalam Al-Qur'an dan Hadis, baik sebagai pujian bagi mereka yang telah berhasil meraih keridaan Allah maupun sebagai dorongan untuk melakukan amal saleh. Dalam konteks pujian, Allah menyebutkan dalam Al-Qur'an:

رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ

“Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Itulah kemenangan yang agung.”[5]

Ayat ini menekankan bahwa keridaan Allah merupakan bentuk kemenangan yang tertinggi, yang melampaui segala bentuk kemenangan duniawi. Ini menunjukkan betapa mulianya posisi orang-orang yang telah meraih keridaan Allah dan betapa pentingnya usaha kita untuk mencapainya.

Keridaan Allah tidak hanya terkait dengan amal ibadah dan ketaatan, tetapi juga dengan sikap hati yang ikhlas. Dalam menjalani hidup sehari-hari, seorang Muslim perlu memiliki kesadaran yang mendalam bahwa segala perbuatan, baik yang besar maupun kecil, harus diarahkan untuk meraih keridaan-Nya. Ini mencakup tidak hanya tindakan-tindakan ritual seperti shalat dan puasa, tetapi juga bagaimana kita berinteraksi dengan sesama, menjalankan tugas sehari-hari, dan menghadapi berbagai tantangan hidup. Seorang Muslim yang tulus akan berusaha untuk memastikan bahwa setiap langkah dan keputusan yang diambilnya selalu mengarah pada tujuan utama ini, yaitu meraih rida Allah.

Konsep rida Allah juga berkaitan erat dengan ketenangan jiwa yang dirasakan oleh seorang hamba yang telah sepenuhnya berserah diri kepada Allah. Dalam firman-Nya yang lain, Allah berfirman:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ*ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً*فَادْخُلِي فِي عِبَادِي*وَادْخُلِي جَنَّتِي

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridho dan diridhoi-Nya dan masuklah ke dalam surgaku.” [6]

Ayat ini menggambarkan keadaan jiwa yang tenang dan puas karena telah meraih keridaan Allah. Ini menunjukkan bahwa pencapaian keridaan Allah membawa ketenangan dan kepuasan yang mendalam, baik di dunia maupun di akhirat. Jiwa yang telah mencapai keridaan-Nya akan merasakan kebahagiaan yang tiada tara dan akan diterima dengan penuh kasih oleh Allah, serta dimasukkan ke dalam surga-Nya yang abadi.

﴿رَاضِيَةً﴾ بِمَا أَعْطَاكَ اللَّهُ مِنَ النَّعِيمِ.
﴿مَرْضِيَّةً﴾ عِندَ اللَّهِ، وَذٰلِكَ كَمَا قَالَ تَعَالَىٰ: ﴿رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ﴾ [المائدة: ١١٩].

"Raadhiyah" (رَاضِيَةً) adalah menerima dengan penuh ketenangan apa yang Allah berikan kepadamu dari kenikmatan.
"Mardhiyyah" (مَرْضِيَّةً) adalah keadaan yang diridhai di sisi Allah, sebagaimana firman-Nya: "Allah rida kepada mereka dan mereka rida kepada-Nya." [Al-Ma'idah: 119].[7]

﴿اِرْجِعِي إِلَى﴾ مَوْعِدِ ﴿رَبِّكِ﴾ أَوْ ثَوَابِ رَبِّكِ ﴿رَّاضِيَةٍ﴾ مِنَ اللَّهِ بِمَا أُوتِيتِ ﴿مَّرْضِيَةً﴾ عِندَ اللَّهِ بِمَا عَمِلْتِ

"Kembalilah kepada" (ارجعى إلى) adalah kembali kepada waktu atau tempat kembali.
"Tuhanmu" (رَبِّكِ) berarti kepada Allah, atau kepada pahala yang diberikan oleh Tuhanmu.
" Raadhiyah " (رَّاضِيَةٍ) adalah keadaan yang diridhai oleh Allah, atas apa yang telah kamu terima.
"Mardhiyyah" (مَّرْضِيَّةً) adalah keadaan yang diridhai di sisi Allah, berdasarkan amal-amal yang telah kamu lakukan.[8]

Secara keseluruhan, meraih rida Allah Ta'ala adalah sebuah proses yang memerlukan kesungguhan, keikhlasan, dan konsistensi dalam setiap tindakan dan niat kita. Setiap amal yang dilakukan dengan niat yang tulus untuk meraih keridaan-Nya akan membentuk fondasi yang kokoh untuk mencapai tujuan akhir ini. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus menerus berusaha memperbaiki diri, menjaga niat, dan beribadah dengan penuh kesadaran akan tujuan suci ini. Dengan demikian, kita dapat mengarahkan seluruh hidup kita untuk meraih keridaan Allah dan memperoleh kemenangan yang abadi di akhirat.

 

Daftar Pustaka:

Al-Qur'an.

Al-Nasafi, Abu Al-Barakat. Makarim Al-Tanzil wa Haqa'iq Al-Tafsil. Juz 1, hlm. 552, Tafsir Surat Al-An'am ayat 162.

Al-Nasafi, Abu Hafs. Al-Taysir fi Al-Tafsir. Juz 6, hlm. 273.

Ibn Uthaymin. Liqa' al-Bab al-Maftuh. Juz 8, hlm. 68, Tafsir Awaakhir Surah Al-Fajr, tafsir ayat: "ارجعي إلى ربك راضية مرضية".

 



[1] Ditulis oleh Thoriq Aziz, S.Pd., Lc., M.Pd.

[2] Surat Al-An'am Ayat 162

[3] Abu Hafs Al-Nasafi (w. 537) Al-Taysir fi Al-TafsirJuz 6, hlm. 273.

[4] Abu Al-Barakat Al-Nasafi, Makarim Al-Tanzil wa Haqa'iq Al-Tafsil, Juz 1, halaman 552, Tafsir Surat Al-An'am ayat 162.

[5] Surat Al-Maidah Ayat 119

[6] Surat Al-Fajr 27-30

[7] Ibn Uthaymin (W 1421), Liqa' al-Bab al-Maftuh, juz 8, hlm. 68, Tafsir Awaakhir Surah Al-Fajr, tafsir ayat: "ارجعي إلى ربك راضية مرضية".

[8] Abu Al-Barakat Al-Nasafi, Madarik Al-Tanzil wa Haqa'iq Al-Ta'wil, Juz 3, hlm. 642, Tafsir Surah Al-Fajr, ayat 28.

0 Comments

Newest