Hak-hak Istri Atas Suami

Hak-hak Istri Atas Suami
Oleh Muh.Thoriq Aziz Kusuma


Google pic.
            Istri adalah mitra dan pasangan hidup. Dan cinta tak sekedar romantisme hidup, namun erat kaitannya dengan pemuliaan, perhatian dan kepercayaan.
حَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ السَّعْدِيُّ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ لاَ يُعْطِينِي مِنَ النَّفَقَةِ مَا يَكْفِينِي وَيَكْفِي بَنِيَّ إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمِهِ ‏.‏ فَهَلْ عَلَىَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏ "‏ خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيكِ ‏"‏
“Telah menceritakan kepadaku Ali bin Hujrin al-Sa’di, telah menceritakan kepada kami Ali bin Mushar dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya dari Aisyah beliau berkata:” Hindun putri ‘Utbah isteri Abu Sufyan masuk menghadap Rasulullah SAW seraya berkata : Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang lelaki yang kikir. Dia tidak memberikan saya nafkah yang cukup untuk saya dan anak-anakku selain apa yang saya ambil dari sebagian hartanya tanpa setahunya. Apakah saya berdosa karena perbuatanku itu ? Lalu Rasul Saw. bersabda: “Ambillah olehmu sebagian dari hartanya dengan cara yang baik secukupnya untukmu dan anak-anakmu.”[1]
            Dari hadis Nabi, Saw., di atas dapat diketahui bahwa bagi seorang istri memiliki sekumpulan hak-hak yang mesti dipenuhi oleh seorang suami, semisal kewajiban suami memberi nafkah istrinya. Jika sang suami bersikap pelit atau tidak memberi nafkah sesuai dengan kebutuhan istri, maka bolehnya sang istri mengambil harta atau uang suami untuk memenuhi kekurangan kebutuhan hidupnya tanpa berlebihan, sesuai dengan 'urf, praktik kebiasaan dan kebutuhan hidup yang sewajarnya. Karena sejatinya seorang istri itu terkendali oleh kesalehan, tugas dan tanggung jawab suami, dan bagi suami hendaknya memenuhi hak-hak istrinya. Maka yang prinsipil, wajib bagi suami untuk memberi hak-hak seorang istri alias menunaikan kewajibannya terlebih dahulu, baru setelahnya ia mengambil hak-haknya dari sang istri dengan cara yang baik dan terpuji. Oleh sebab itu, apa saja hak-hak seorang istri atas suaminya, dan bagaimana mendapatkan hak-hak istri jika sang suami menahan hak tersebut atau tidak memberikannya?
Hak-hak Istri yang Menjadi Kewajiban Suami
Islam telah mensyariatkan sejumlah hak-hak bagi setiap suami dan istri. Wajib bagi suami untuk menunaikan hak-hak istrinya secara utuh. Sebagaimana bagi istri untuk menunaikan hak-hak suaminya, jika sang suami memberikan hak-haknya secara utuh atau telah menunaikan tugas dan kewajibannya dengan totalitas. Hak-hak istri terbagi menjadi dua, hak yang berkaitan dengan harta dan hak yang tak berkaitan dengan harta.
a. Hak-hak Istri yang Berkenaan dengan Harta
Hak-hak istri yang berkaitan dengan harta terbagi menjadi dua, pertama hak-hak yang berkaitan dengan harta yang tak terbarukan (ghair mutajaddidah), dan yang kedua ialah hak-hak yang berkaitan dengan harta yang terbarukan (mutajaddidah).
Hak-hak istri yang berkaitan dengan harta yang terbarukan (mutajaddidah) ialah hak istri untuk diberi nafkah dan diberi makanan dengan cara yang baik, dan diberi tempat tinggal di suatu tempat yang mencakup segala apa yang dibutuhkan untuk hidup sehari-hari, serta diberi pakaian yang menutup aurat dan melindunginya dari panas dan dingin. Sedangkan Hak-hak istri yang berkaitan dengan harta yang tak terbarukan (ghair mutajaddidah) adalah haknya memperoleh mahar yang diwajibkan kepada suami untuk istrinya sekali saja saat akad pernikahan. Perinciannya sebagai berikut[2] :
1. Hak istri atas mahar
Hak istri atas mahar yang harus diberikan suami saat akad nikah sesuai dengan kesepakatan antar kedua belah pihak. Sebagaimana Firman Allah, Swt.,
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan."[3]
2.  Hak mendapat nafkah, pakaian dan tempat tinggal.
Wajib bagi suami memastikan tercukupinya nafkah untuk istrinya, diantaranya kebutuhan akan makan, minum, pakaian, tempat tinggal, berobat manakala sakit dan nafkah-nafkah yang lain. Firman Allah, Swt.,
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.”[4]
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” [5]
b. Hak-hak Istri Selain yang Berkenaan dengan Harta
1. Mendapat pergaulan/hubungan yang baik dari suaminya.
Hal pertama yang wajib ditunaikan oleh seorang suami adalah memberikan hak-hak maknawi kepada istrinya, yakni dengan memulikannya, memperlakukannya dengan cara yang baik, menggaulinya dengan cara yang baik, serta berinteraksi dengannhya dengan cara yang sepatutnya (baik) pula. Inilah yang akan mengantarkan sebuah rumah tangga menuju saling mencintai di antara dua hati yang terpaut ikatan yang suci. Sebagaimana juga wajib bagi suami untuk bersikap sabar atas istrinya dan bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan istrinya. 
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيراً
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”[6]
Sebuah fakta kelaki-lakian yang paripurna dan benarnya imam ialah menjadi seseorang yang peka, lemah lembut dan terbuka kepada keluaraganya. Sabda Nabi, Saw.,
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ
“Kaum Mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka, dan yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada isteri-isterinya.”[7]
Memuliakan perempuan adalah dalil yang menunjukkan seseorang itu paripurna, sedangkan merendahkan perempuan merupakan perbuatan yang mengandung unsur penghinaan dan kekejaman.
شَهِدَ حجَّةَ الوَداعِ معَ رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ فحَمدَ اللَّهَ وأَثنى علَيهِ وذَكَّرَ ووعظَ ثمَّ قالَ استَوصوا بالنِّساءِ خيرًا فإنَّهنَّ عندَكُم عَوانٍ ليسَ تملِكونَ منهنَّ شيئًا غيرَ ذلِكَ إلَّا أن يأتينَ بفاحشةٍ مبيِّنةٍ فإن فَعلنَ فاهجُروهنَّ في المضاجِعِ واضرِبوهنَّ ضربًا غيرَ مبرِّحٍ فإن أطعنَكُم فلا تَبغوا عليهنَّ سبيلًا إنَّ لَكُم مِن نسائِكُم حقًّا ولنسائِكُم عليكُم حقًّا فأمَّا حقُّكم على نسائِكُم فلا يُوطِئْنَ فرُشَكُم من تَكْرَهونَ ولا يأذَنَّ في بيوتِكُم لمن تَكْرَهونَ ألا وحقُّهنَّ عليكم أن تُحسِنوا إليهنَّ في كسوتِهِنَّ وطعامِهِنَّ
Bahwasanya Amr ikut serta dalam haji wada’ bersama Nabi. Maka, dalam peristiwa tersebut Nabi berkhutbah dengan dimulai memuji Allah lalu menyanjung Allah dan memberikan peringatan serta nasehat. Maka disebutkan di dalam hadits tersebut satu kisah.
“Wahai umatku, berpesan dan berwasiatlah tentang kebaikan kepada isteri-isteri kalian. Sesungguhnya para istri itu layaknya seorang tawanan di sisi kalian yang kalian tidak menguasai dari isteri-isteri kalian sedikitpun selain ini. Kecuali jika istri melakukan perbuatan keji yang tampak nyata.
Apabila ia melakukannya maka pisahkan mereka di tempat pembaringannya dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Jika mereka telah taat maka janganlah kalian mencari jalan lain untuk menimpakan kesalahan mereka.
Ketahuilah sesungguhnya kalian (para suami) ada hak-hak yang harus ditunaikan oleh istri kalian. Dan bagi isteri-isteri kalian juga ada hak yang harus kalian tunaikan.
Adapun hak suami atas para istri hendaknya istri tidak memperkenankan seorang pun untuk mendatangi tempat pembaringannya seorang pun dari yang di benci dan tidak memberikan izin untuk masuk rumah orang-orang yang kalian benci. Dan diantara hak para istri yang harus kalian tunaikan adalah berbuat baik kepada para istri dalam hal sandang dan pangan mereka.”[8]
Memuliakan istri, membelain dan bercanda dengan mereka, senang dengan kehadiran mereka, dan berinteraksi dengan mereka dengan sebaik-baiknya.[9]
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّه
Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.”[10]
2. Berhubungan seksual dengan istri dengan cara yang baik untuk melindungi haknya dan menjaga maslahatnya dalam sebuah pernikahan, serta melindunginya dari fitnah.
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.”[11]
وفي بُضعِ أحدِكمْ صَدقَةٌ، قالوا يا رسولَ اللَّهِ يأتي أحدُنا شهوتَهُ ويكونُ له فيها أجرٌ؟ قال أرأيتُمْ لو وضعها في حرامٍ أكان يكونُ عليه وِزْرٌ؟ قالوا: نعمْ، قال فكذلِكَ إذا وضعها في الحلالِ يكونُ لهُ أجرٌ
“Dan menggauli istri kamu sekalianpun shadakah. Sekelompok sahabat itu lalu bertanya, wahai Rasulullah, apakah ketika salah seorang dari kami menggauli istrinya juga berpahala? Rasulullah saw menjawab, apa pendapat kamu sekalian jika ia menunaikan syahwatnya pada yang diharamkan apakah ia mendapat dosa ? Begitupun jika ia menunaikan syahatnya pada yang halal, tentu ia mendapat pahala.”[12]
3. Memperlakukan istri dengan perlakukan yang sesuai dengan tuntutan syariat. Dilarang keras seorang suami memerintahkan kepada istrinya dalam hal yang haram. Seperti perintah untuk menuruti suami berhubungan seksual saat istri sedang haid, atau melalui dubur dan sejenisnya.[13]
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
4. Seorang suami berkewajiban merawat dan mengurusnya, dan jangan sampai istri membutuhkan orang lain, wajib bagi suami menjamin keamanannya, stabilitasnya ,kehidupan yang damai untuknya, sehingga hidupnya menjadi sedang dan tentram.[14]
5. Berusaha berbuat ishlah atau perbaikan kepada istri jika ada hal-hal yang kurang baik, serta menuntunnya untuk patuh, dan mendorong istri agar menjadi istri yang patuh.[15]
Hakl Suami atas Istri
Sama halnya seperti istri yang memiliki hak atas suaminya, demikian juga suami memiliki hak atas istrinya.
a.Wajib bagi istri untuk patuh kepada suaminya. Allah, Swt., telah menjadikan laki-laki sebagai pemimpin atas perempuan. Kepemimpinan itu melekat pada tanggung jawab suami untuk melindungi dan memberi nafkah istri dan mempermudah urusan-urusannya.
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.[16]
b. Hak suami untuk berhubungan seksual dengan istrinya sesuai dengan hukum Islam.
إذا دعا الرجل امرأته إلى فراشه فأبت فبات غضبان عليها لعنتها الملائكة حتى تصبح
“Jika seorang suami mengajak isterinya ke tempattidur, lalu ia enggan untuk memenuhi ajakan suaminya, maka ia akan dilaknatMalaikat hingga pagi.” [17]
c. Tidak mengizinkan orang memasuki rumahnya tanpa seizinnya
لا يحلّ للمرأة أن تصوم وزوجها شاهد إلا بإذنه ، ولا تأذن في بيته إلا بإذنه
“Tidak dihalalkan bagi seorang wanita untuk berpuasa sementara suaminya ada di sampingnya kecuali dengan izinnya, dan tidak mengizinkan (seseorang masuk) ke rumahnya kecuali atas izinnya.”[18]
فاتّقوا الله في النّساء، فإنكم أخذتموهن بأمان الله، واستحللتم فروجهن بكلمة الله، ولكم عليهن ألا يوطئن فرشكم أحداً تكرهونه، فإن فعلن ذلك فاضربوهنّ ضرباً غير مُبرح، ولهنّ عليكم رزقهنّ وكسوتهنّ بالمعروف
“Takutlah kepada Allah di dalam perihal istri-istri, karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan keamanan dari Allah dan menghalalkan kemaluan-kemaluan mereka dengan kalimat Allah, dan kalian memiliki hak atas mereka yaitu mereka tidak membiarkan seorangpun yang kalian benci untuk tidur di ranjang-ranjang kalian,… dan mereka (para istri) memiliki hak katas kalian, yaitu kalian memberikan harta dan pakaian kepada mereka dengan hal yang baik.” [19]
d. Tidak meninggalkan rumah tanpa izin suami.



[1] HR. Muslim yang terkodifikasi dalam Shahīh Muslim, Dari 'Āisyah Ummu Al-Mukminīn, R.A.H., halaman atau nomor 1714.
[2] Majmū'ah Al-Muallifīn, Al-Fiqhu Al-Muyassar fii Dhaui Al-Kitāb wa Al- Sunnah, halm. 304-305, bittasharruf.
[3] QS. Al-Nisaa’ : 4
[4] QS. Al-Baqarah : 233
[5] QS. Al-Nisaa': 34
[6] QS. AL-Nisaa’ : 19
[7] HR. Al-Tirmidzi, dalam Sunan Al-Tirmidzi, dari Abu Hurairah, Halaman atau nomor 1162, Hadis Hasan Shahih.
[8] Dalam Shahih Ibnu Maajah, dari 'Amruu Ibn Al-Ahwash, Halaman atau nomor 1513, Hadis Hasan.
[9] Sayyid Saabiq , Fikih Al-Sunnah, Halaman 185-186, Juz II, Edisi Revisi
[10] QS. Al-Baqarah : 222
[11] QS. Al-Baqarah : 223
[12] Dalam I'laam Al-Muwaqqi'iin, dari Abi Dzar Al-GHafaarii, halaman atau nomor 181 Juz I, Hadis Shahih.
[13] Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fikih Al-Islami wa Adillatuhu, Halaman 6846, Juz IX, Edisi Revisi.
[14] Ahmad 'Ali Tahaa Riyaan, Fikih Keluarga, Halaman 179, Edisi Revisi.
[15] Fikih Al-Nikaah wa Al-Faraaidh, halaman 57, edisi revisi.
[16] QS. Al-Nisaa : 34
[17] HR. Al-Bukhari, dalam Shahih AL-Bukhari, dari Abu Hurairah, halaman atau nomor 3065
[18] HR. Al-Bukhari, dalam Shahih AL-Bukhari, dari Abu Hurairah, halaman atau nomor 4899
[19] HR. Muslim, dalam Shahih Muslim, dari Jaabir Ibn ABdullah Al-Silmi, Halaman atau nomor 1218.

0 Comments