Urgensi Pendidikan Karakter untuk Keberlangsungan Bangsa Indonesia

Urgensi Pendidikan Karakter untuk Keberlangsungan Bangsa Indonesia
Oleh : Muh. Thoriq Aziz Kusuma

Google pic. 
Pendahuluan
Secara inheren bangsa Indonesia terkenal menjunjung tinggi sopan santun dan adab kepada semua orang. Selain itu sebagai sebuah bangsa yang besar, bangsa Indonesia sangat mengindahkan budaya ketimuran yang kaya akan budi perkerti dan akhlak.
Kesaksian terkini terhadap realita yang ada bahwa di era globalisasi, era super cepat, era dimana jarak, ruang dan waktu dapat ditaklukkan oleh manusia, akhirnya dunia ini makin menyusut, shringking the world. Kenyataan menyusutnya dunia ini membawa transformasi attitude atau tingkah laku manusia yang makin lama makin memprihatinkan. Sikap dan perilaku luhur manusia makin langka dan sulit ditemui. Akhirnya yang terjadi banyak tindak penyimpangan moral positif, maraknya kejahatan disana-sini dan perilaku buruk yang makin nampak nyata di tengah-tengah masyarakat pada umumnya. Ditambah lagi tindak pelaku kebajikan kurang mendapat support dari masyarakat bahkan terkesan terisosali. Wal-hasīl, tindak pelaku kejahatan dan moral negatif menjadi ramai dan membawa dampak buruk bagi perjalanan umat dan bangsa di masa-masa mendatang.
Banyaknya kasus-kasus yang terjadi saat ini, semisal meningkatknya kekerasan di kalangan remaja, penggunaan tutur bahasa yang sudah tidak seperti bangsa katimuran yang mengindahkan sopan santun dan adab, serta maraknya penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas. Dan juga fenomena kerusakan moral yang seharusnya sangat perlu diwaspadai ialah perilaku korupsi dan penghianatan pada kepentingan umat dan bangsa. Selain itu, juga etos kerja yang makin menurun, semakin rendahnya rasa hormat seorang anak dan peserta didik kepada orang tua dan guru, serta menguatnya budaya ketidakjujuran dan semakin pupusnya pedoman moral baik dan buruk di tengah-tengah masyarakat.
Sehingga dengan pembacaan teoritis yang sederhana, bilamana kondisi seperti di atas dibiarkan, tidak ada langkah positif untuk menanganinya, maka peradaban bangsa indonesia berada dalam bahaya yang sangat besar. kemerosotan moral yang dialami masyarakat merupakan pertanda kemunduran dan kehancuran Bangsa Indonesia.
Kualitas perilaku yang makin tidak bagus seperti ini menjadi sebuah peringatan bagi umat dan bangsa, bahwa kehancuran sebuah umat, masyarakat atau bangsa itu berawal dari rusaknya moral bangsa tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Amīr Al-Syu'arā atau Pemimpin Para Penyair, Ahmad Sauqī dalam bait-bait syairnya sebagai berikut:

إِنَّمَا الأُمَمُ الأَخْلاقُ مَا بَقِيَتْ  # فَإِنْ هُمُ ذَهَبَتْ أَخْلاقُهُمْ ذَهَبُوا
واذا اصيب القوم في اخلاقهم # فاقم عليهم مآتما وعويلا
صَلَاحُ أَمْرِكَ لِلأَخْلاَقِ مَرْجِعُهُ فَقَوِّمِ النَّفْسَ بِالأَخْلَاقِ تَسْتَقِم
Innamaa al-umamu al-akhlaaqu maa baqiyat, fa inhum dzahabat akhlaaquhum dzahabuu.
Wa idzaa ushiiba al-qaumu fii akhlaaqihim, fa aqim 'alaihim ma-aatiman wa 'awiilan.
shalaahu amruka lil akhlaaqi marji'uhu, fa qawwimu al-nafsa bil al-akhlaaqi tastaqimu.

Artinya : “Sesungguhnya kejayaan suatu umat (bangsa) terletak pada akhlaknya selagi mereka masih berakhlak dan berbudi perangai utama, jika pada mereka telah hilang akhlaknya, maka jatuhlah umat (bangsa) itu. Jika suatu bangsa terserang moralitasnya (tidak berakhlak), maka bisa dihukumi kondisi mereka susah dan penuh ratapan. Perbaikan pada perkara akhlak menjadi acuan dasar, oleh sebab itu peliharalah dirimu dengan akhlak maka jalanmu akan mulus.”
Syair di atas menuturkan bahwa kejayaan dan kemuliaan suatu bangsa terletak pada moral bangsa tersebut. Jikalau bangsa tersebut tidak bermoral, tidak jujur, suka berbohong, banyak pelacuran, seks bebas dan narkoba menjadi-jadi, maka hancurlah bangsa tersebut dan bisa dikatakan tidak bakal memiliki masa depan yang cerah. Ditambah satu klise lagi, jika suatu bangsa terserang moralitasnya maka bangsa itu sedang dirundung masalah yang amat sangat serius, karena bangsa itu akan menjadi bangsa yang rusak, menjadi bangsa yang cacat, bangsa yang hari-harinya akan dirundung malang, penuh dengan kesusahan dan ratapan yang luar biasa.
Dalam kondisi yang demikian, maka strategi, mekanisme dan fokus pendidikan kepada masyarakat, umat dan bangsa harus berpatri pada akhlak yang mulia. Ini yang mesti diperhatikan secara lebih kritis.

Pendidikan Karakter 
Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani, charassein, yang berarti to engrave (mengukir). Dengan demikian, membentuk karakter diibaratkan seperti mengukir di atas batu yang pelaksanaannya tidak mudah. Dari makna asal tersebut kemudian pengertian karakter berkembang menjadi tanda khusus atau pola perilaku (an individual’s pattern of behavior … his moral contitution).[1] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter diartikan sebagai tabiat; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain; watak.[2] Pengertian tidak jauh berbeda ditemukan dalam Oxford Dictionary, yang mendefinisikan karakter sebagai the mental and moral qualities distinctive to an individual (kualitas mental dan moral yang khas pada seseorang); the distinctive nature of something (sifat khas sesuatu); the quality of being individual in an interesting or unusual way (kualitas individu dalam pandangan yang menarik atau tidak biasa);  strength and originality in a person's nature (kekuatan dan orisinalitas dalam diri seseorang); a person's good reputation (reputasi yang baik seseorang).[3]
Karakter adalah kumpulan dari berbagai kualitas perilaku dan budi pekerti yang ada dalam entitas seseorang secara konstan, yang membedakannya dari yang lain.[4] Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa karakter merupakan watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.[5] Atau karakter dapat pula dinyatakan sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.[6] Dengan demikian, karakter berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang yang mempunyai kualitas moral positif.[7]
Adapun Pendidikan dalam bahasa Arab disebut Al-Tarbiyyah. Al-Tarbiyyah sendiri berasal dari kata Al-Rab, bermakna yang merajai, penguasa, yang mengatur, yang meluruskan, dan yang memberi niknat. Kata Al-Rab tidak disematkan kecuali kepada Allah, Swt. Kalimat Al-Tarbiyyah digunakan untuk mengungkapkan makna kesopanan (etika) dan tingginya derajat. Sebagaimana yang Al-Zamakhsyarī sebutkan, Fulan ada pada derajat rabāwah dari kaumnya. Arinya Fulan adalah orang yang memiliki derajat paling tinggi di antara kaumnya.[8]
Pendidikan ialah usaha memelihara tubuh dengan apa yang dibutuhkannya untuk tumbuh kuat dan mampu menghadapi beban dan kesulitan hidup. Usaha memelihara tubuh hingga batas sempurna disebut pendidikan. Maka pendidikan bisa disimpulkan sebagai usaha apa saja untuk memelihara dan menjaga manusia, baik tubuhnya, akalnya, jiwanya, perasaannya, hati dan kasih sayangnya.[9]
Sedangkan pendidikan, menurut Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan karakter atau Al-Tarbiyyah Al-Akhlāqiyyah adalah seperangkat nilai yang berorientasi pada perilaku anak untuk mencapai tujuannya dalam hidup.[10] Atau bisa juga diwahyuartikan sebagai seperangkat prinsip etika dan perilaku serta kebajikan emosional yang harus diajarkan, diberikan dan dibiasakan kepada anak, agar anak menjadi ekslusif dalam menjalani hidup.
Dengan memperhatikan makna karakter dan pendidikan, maka pendidikan karakter dapat diartikan sebagai upaya mengembangkan potensi peserta didik dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa agar mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai warganegara. Sedangkan menurut Thomas Lickona, sebagaimana dikutip Suyatno, pendidikan karakter adalah upaya terencana dalam membantu seseorang untuk memahami, peduli, dan bertindak atas nilai-nilai etika/moral.[11]

Mengapa Pendidikan Karakter Penting?
Fakta terkini, diakui atau tidak, akhir-akhir ini banyak bermunculan perilaku masyarakat yang jauh dari nilai-nilai luhur. Misalnya, perilaku saling mencela/menjatuhkan, saling curiga, bahkan menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan, termasuk dengan cara-cara yang melanggar hukum seperti korupsi dan memeras warga masyarakat.
Generasi muda yang sedang belajar pun tak lepas dari pemberitaan negatif mengenai perilaku menyimpang mereka.  Pemberitaan mengenai maraknya narkoba di kalangan anak muda, pergaulan bebas, tawuran hingga budaya premanisme. Hal ini tentu memprihatinkan. Bahkan sejak ditetapkannya kebijakan ujian nasional sebagai standar kelulusan, perilaku curang, tidak jujur, menyontek saat ujian telah ramai dilakukan dengan jalan kolektif oleh guru, siswa dan pihak terkait. Bahkan ditemukan pula penyelewengan dan penyimpangan penggunaan anggaran pendidikan di tingkat satuan pendidikan menjadi berita yang menghiasi media setiap saat.
Padahal jika ditelisik pada tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003  tentang Sistem Pendidikan Nasional, sangatlah ideal yaitu “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”Lalu apa yang salah?
Thomas Lickona, seorang pendidik karakter dari Cortland University yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Karakter Amerika, mengungkapkan bahwa sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran, jika memiliki sepuluh tanda-tanda zaman, yaitu, meningkatnya kekerasan di kalangan remaja; membudayanya ketidak jujuran; berkembangnya sikap fanatik terhadap kelompok (peer group); semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru; semakin kaburnya moral baik dan buruk; penggunaan bahasa yang memburuk; meningkatnya perilaku merusak diri seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas; rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu dan sebagai warga negara; menurunnya etos kerja; dan adanya rasa saling curiga dan kurangnya kepedulian di antara sesama.[12] Apa yang diutarakan Lickona di atas dapat dilihat dan ditemukan dalam kehidupan bangsa Indonesia akhir-akhir ini.
Apa arti semua ini? Negara atau pemerintah belum mampu menuntaskan penyelenggaraan pendidikan berbasis karakter atau akhlak. Pendidikan karakter di sekolah dan di lembaga-lembaga lainnya yang selama ini dikembangkan melalui pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan, belum genap membentuk peserta didik yang berkatakter (berakhlak). Karena pendidikan agama dan kewarganegaraan hanya menjamah pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan implementasi atau tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Pendek kata, pendidikan agama dan kewarganegaraan lebih mengaksentuasikan aspek kognitif dan cenderung mengalpakan aspek afektif dan dan psikomotor yang justru menjadi inti pembelajaran nilai. Jika hal ini dibiarkan terus-menerus, maka disekuilibrium antara pengetahuan dan perilaku akan semakin tidak simetris.
Fakta mengenai krisis multidimensi dan lemahnya pendidikan agama dan kewarganegaraan tersebut mengisyaratkan bahwa penguatan pendidikan karakter adalah sesuatu yang multak dilaksanakan agar generasi muda penerus kepemimpinan bangsa bisa diselamatkan dari kerusakan moral dan krisis multidimensi.
Generasi muda adalah pemilik masa depan bangsa, mereka adalah aset dan kunci keberlangsungan bangsa Indonesia. Mustahil seseorang yang berakal sehat mengingkari kehadiran pemuda dalam proses kemajuan dan kabangkitan bangsa-bangsa. Energi perubahan yang digerakkan oleh kaula muda itu, sejatinya memang memiliki pengaruh yang luar biasa. Sampai-sampai ada ungkapan dalam bahasa Arab yang berbunyi, Syubān al-yaum rijāl al-ghad, the youths of today is the leaders of tomorrow, pemuda hari ini adalah pemimpin di hari esok. Maka masa depan suatu bangsa dapat dilihat melalui tingkat kualifikasi kaula mudanya di waktu sekarang.

Dasar dan Sumber Pendidikan Karakter
          Dalam buku Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa cetakan Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta, disebutkan bahwa dasar (landasan) dan sumber pendidikan karakter bangsa yang hendak dikembangkan melalui lembaga pendidikan digali dari nilai-nilai yang selama ini menjadi karakter bangsa Indonesia, yaitu nilai-nilai agama, Pancasila, budaya bangsa, dan tujuan pendidikan nasional.
1. Agama; masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan karakter harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.
2. Pancasila; negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsipprinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.
3. Budaya; sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan karakter bangsa. 
4. Tujuan Pendidikan Nasional; sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab.” Dari bunyi pasal tersebut, setidaknya terdapat lima dari delapan potensi peserta didik yang implementasinya sangat lekat dengan tujuan pembentukan pendidikan karakter. Kelekatan inilah yang menjadi dasar hukum begitu pentingnya pelaksanaan pendidikan karakter.

Nilai-Nilai Pendidikan Karakter
            Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.[13]
Sementara itu, berdasar nilai-nilai agama, Pancasila, budaya, dam tujuan pendidikan nasional, Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional merumuskan delapan belas nilai-nilai yang perlu dikembangkan melalui pendidikan karakter, yaitu:[14]
1. Religius; sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur; perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi; sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4. Disiplin; tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
5. Kerja keras; perilaku yang menunjukkan upaya sungguhsungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaikbaiknya.
6. Kreatif; berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri; sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugastugas.
8. Demokratis; cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9. Rasa ingin tahu; sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10. Semangat kebangsaan; cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11. Cinta tanah air; cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12. Menghargai prestasi; sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
13. Bersahabat/Komunikatif; tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14. Cinta damai; Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15. Gemar membaca; Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli lingkungan; sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Peduli sosial; sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung-jawab; sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Implementasi Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter harus ditumbuhkembangkan sejak dini dan berkelanjutan, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah hingga lingkungan masyarakat luas. Pendidikan karakter harus diajarkan secara sistematis dan holistik  dengan menggunakan metode knowing the good, loving the good, dan acting the good.[15]

Islam dan Pendidikan Karakter (Perbaikan Akhlak/Li Utammima Makārima Al-Akhlāq)
            Pembahasan mengenai nilai-nilai akhlak dan etika (karakter) dalam kehidupan kaum Muslimin merupakan pembahasan yang sangat penting, mengingat di era sekarang, nilai-nilai akhlak dan etika makin terasingkan dalam kehidupan umat manusia. Rasanya hari demi hari, kemajuan zaman membawa pergeseran nilai dan kualitas, kualitas akhlak kian ganjil di era sekarang.
Keberlangsungan, kemajuan dan ketahanan pangan sebuah bangsa atau umat bergantung pada ketetapan mereka berpegang teguh pada nilai-nilai akhlak dan etika. Oleh karena itu, esensi risalah kenabian terletak pada usaha penyempurnaan akhlak. Sebagaimana Sabda Nabi Muhammad, Saw., yang berbunyi,
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
Artinya: “Sesunnguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Al-Bukhari).
Dalam hadis tersebut, Nabi, Saw., menjelaskan bahwa tujuan utama dari agama Islam yang lurus ini dan dari risalah yang penuh dengan kemurahan hati ini adalah penyempurnaan akhlak. Hal yang paling utama dalam syariat Islam  adalah penyempurnaan akhlak yang baik. Hadis di atas juga mengindikasikan dengan jelas tentang pentingnya akhlak dalam Islam, bahwa akhlak merupakan esensi dari risalah kenabian, akhlak adalah inti dari tugas kenabian.
            Bahkan dalam sebuah ayat, Allah, Swt., memuji Rasulullah, Saw.
وانك لعلى خلق عظيم
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki budi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam : 4).
Menjadi sebuah kelaziman, bahwa maju dan mundurnya sebuah bangsa, bergantung pada akhlak mereka. Jika mereka berdiri di sebuah akhlak yang luhur, maka kemajuan akan dirasa. Jika tidak, maka yang terjadi adalah sebaliknya.
Tak diragukan lagi, baik agama Islam maupun risalah-risalah ketuhanan sebelum Islam semuanya meletakkan fokus perhatiannya kepada perihal akhlak. Akhlak merupakan buah dari iman. Islam mengungkapkan bahwa iman yang sejati adalah yang terlahir dan terbentuk dalam sebuah akhlak yang baik, baik akhlak kepada Tuhan atau yang disebut sebagai Al-Akhlāq Al-Rabbāniyyah, maupun akhlak kepada manusia atau yang disebut sebagai Al-Akhlāq Al-Insāniyyah. Al-Akhlāq Al-Rabbāniyyah semisal bersikap tawakal kepada Allah, Swt., bersyukur atas nikmat dan pemberianNya, takut kepadaNya, berharap rahmatNya, dan lain sebagainya. Sedangkan Al-Akhlāq Al-Insāniyyah seperti jujur, amanah, sikap berani, dermawan, ikhlas berkorban dan berjuang, sikap saling tolong-menolong, dan berbuat baik kepada sesama dan mereka yang lemah, sikap tawādhu' atau rendah hati, rasa malu dan lain-lain.
Malu adalah bagian dari iman. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis, 

الحياء شعبة من الإيمان
Al-Hayaa-u syu’batun minal iimaan.
“Dan malu adalah salah satu cabang dari iman.” (HR. Al-Bukhari)

Kita dapat mengetahui manakala al-Quran menyebut tentang iman, maka iman yang dimaksud adalah iman yang terpancar dalam akhlak. Sebagaimana Firman Allah, Swt.,

إنما المؤمنون الذين إذا ذكر الله وجلت قلوبهم وإذا تليت عليهم آياته زادتهم إيماناً وعلى ربهم يتوكلون
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, maka gemetarlah hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuatlah) Imannya dan hanya kepada Tuhan merekalah, mereka bertawakkal.” (QS.Al-Anfal: 2)
Firman Allah, Swt., yang mengambarkan perihal Al-Akhlāq Al-Rabbāniyyah,

قد أفلح المؤمنون الذين هم في صلاتهم خاشعون والذين هم عن اللغو معرضون والذين هم للزكاة فاعلون
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) Orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat." (QS. Al-Mukminun: 1-4)
Dan amal kebajikan yang merupakan tanda dari Al-Akhlāq Al-Insāniyyah.

والذين هم لفروجهم حافظون
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya.” (QS. Al-Mukminun: 5)
Menjaga kesucian merupakan salah satu moral dasar dalam Islam, menjaga kesucian diri dari yang haram, baik keharaman yang berkaitan dengan harta maupun kemaluan.
            Oleh sebab itu, Nabi, Saw., sepanjang era dakwah di Mekah selama tiga belas tahun, beliau benar-benar mendidik dan mempersiapkan generasi awal (Al-Jail Al-Awwal), yang akan memikul beban dakwah Islam di kemudian hari, dengan akhlak yang baik, akhlak yang berdiri di atas asas dan prinsip Islam di tengah-tengah masyarakat. Akhlak adalah kekuatan pribadi Muslimin, jika tegak akhlak tegak bangsa, jika rusak akhlak rusak bangsa. Sebagaimana diatas tadi, Amīr Al-Syu'arā atau Pemimpin Para Penyair, Ahmad Sauqī dalam bait-bait syairnya menerangkan bahwa kejayaan dan kemuliaan suatu bangsa terletak pada akhlak bangsa tersebut. Jikalau bangsa tersebut tidak berakhlak, maka bangsa tersebut tidak bakal memiliki masa depan yang cerah, bahkan akan hancur. Namun sebaliknya jika bangsa tersebut berakhlak, maka tegaklah bangsa itu.

إنما الامم الاخلاق ما بقيت # فان هم ذهبت اخلاقهم ذهبوا
واذا اصيب القوم في اخلاقهم # فاقم عليهم مآتما وعويلا
صلاح امرك للاخلاق مرجعه # فقوم النفس بالاخلاق تستقم
Artinya : “Sesungguhnya kejayaan suatu umat (bangsa) terletak pada akhlaknya selagi mereka masih berakhlak dan berbudi perangai utama, jika pada mereka telah hilang akhlaknya, maka jatuhlah umat (bangsa) itu. Jika suatu bangsa terserang moralitasnya (tidak berakhlak), maka bisa dihukumi kondisi mereka susah dan penuh ratapan. Perbaikan pada perkara akhlak menjadi acuan dasar, oleh sebab itu peliharalah dirimu dengan akhlak maka jalanmu akan mulus.”
            Islam adalah agama yang menempatkan moral dan akhlak pada posisi yang sangat penting sekali. Akhlak merupakan esensi dari ajaran Islam, disamping ajaran akidah dan syari'at. Karena dengan akhlak akan terwujud mental dan jiwa manusia yang memiliki prinsip kemanusiaan yang tinggi. Sebagaimana diungkapan oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadistnya yang berbunyi :

إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق (مسند البزار عن أبي هريرة)
Artinya :”Aku hanya diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak” (Musnad Al-Bazaar dari Abu Hurairah)
Bahkan Dr. Mushtafa Mahmud dalam bukunya “Ālimul Asrār” mengatakan :

وينسى هؤلاء و أولئك ان السنة النبوية  هي خلق و سلوك وتقوى ...
 ولم يكن أحد يلتفت الى لحية النبى عليه الصلاة و السلام أيام البعثة,
 فقد كان أبو جهل له لحية و أبو لهب له لحية و الكل لهم لحي ...
 ولم تكن اللحي تعني شيئا
Wa yansaa haaulaa-i wa ulaaik anna al-sunnah al-nabawiyyah hiya khuluqun wa suluuku wa taqwaa.
Wa lam yakun ahadun yaltafitu ilaa lihyatin nabii 'alaihi al-shalaatu wa al-salaamu ayyaami al-bi'stah.
Fa qad kaana Abuu Jahal lahu lihyah wa Abuu Lahab lahu lihyatun wa al-kullu lahum lahyun,
wa lam takun al-lahyu ta'nii syai-an.

“Mereka lupa bahwa sunah (ajaran) Nabi adalah etika, budi pekerti dan nilai ketaqwaan. Tiada ada seorangpun yang melihat pada jenggot Nabi di saat-saat masa kenabian. Dan orang seperti Abu Jahal punya jenggot, Abu Lahab punya jenggot, dan semua orang berjenggot. Jenggot tidak mencerminkan esensi apa-apa dari tugas kenabian.
إنما الشيئ اللافت والمميز كان أمانته. كانت هذه حلية الرجل,
 وبهذا عرفوه
Innamaa al-syaiu al-mumaiyyiz kanaa amaanatuhu. Kaanat hadzihii hilyatur rajuli, wa bi hadzihi 'arafuuhu.

“Akan tetapi sesuatu yang dilihat dan diistimewakan adalah amanahnya. Inilah jenggot seorang manusia, dan dengan inilah orang-orang mengenal Nabi Muhammad SAW.”

Kemuliaan akhlak mengambil bagian paling banyak dari agama atau dengan kata lain ajaran agama semuanya adalah mengajarkan pada akhlak yang mulia. Dan jika hilang akhlak, maka hilanglah agama.  
Dalam kaitannya dengan proses pendidikan akhlak (perilaku terpuji) Prof. Dr. H. Mahmud Yunus telah merumuskan tujuan pendidikan akhlak, yaitu membentuk putra dan putri yang berakhlak mulia, berbudi luhur, bercita-cita tinggi, berkemampuan keras, beradab, sopan santun, baik tingkah lakunya maupun jujur dalam segalanya dan suci murni hatinya.[16]

Hubungan Pendidikan Karakter (Akhlak) dengan Keberlangsungan Bangsa Indonesia
Pendidikan karakter menjadi isu penting dalam dunia pendidikan akhir-dewasa ini, hal ini berkaitan dengan fenomena dekadensi moral yang terjadi di tengah-tengah masyarakat maupun di lingkungan pemerintah yang semakin meningkat dan beragam. Pendidikan dilaksanakan melalui berbagai proses, baik informal, formal maupun nonformal.
Pendidikan karakter atau Al-Tarbiyyah Al-Akhlāqiyyah adalah seperangkat nilai yang berorientasi pada perilaku anak (seseorang) untuk mencapai tujuannya dalam hidup.[17] Atau bisa juga diwahyuartikan sebagai seperangkat prinsip etika dan perilaku serta kebajikan emosional yang harus diajarkan, diberikan dan dibiasakan kepada seseorang, agar menjadi ekslusif dalam menjalani hidup.
Akhlak sangat penting, terlebih lagi manusia tanpa akhlak seperti binatang. Oleh karena itu dengan akhlak, manusia bisa dihargai dan dihormati oleh orang lain disekelilingnya. Akhlak adalah nilai keabsolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Bahkan akhlak adalah inti dari ajaran agama. Wabil khusus para generasi bangsa masa kini harus memiliki akhlak yang baik agar bangsa ini lebih berwibawa dan terhormat, karena bagaimanapun merekalah yang akan menjadi pewaris masa depan.
Fenomena maraknya perilaku amoral (tidak berakhlak mulia) remaja saat ini sangat mencemaskan dan meresahkan, bahkan telah mengganggu ketertiban umum dan membuat kehidupan tidak aman serta nyaman. Kalau hal ini tidak segera ditangani secara serius dan terencana yaitu melalui Pendidikan Karakter/ Akhlak, kemungkinan besar bangsa ini akan kehilangan generasi penerus/hancur. Kondisi ideal remaja sebagai generasi penerus, merupakan individu yang sedang berkembang, dan oleh karena itu perlu diberi kesempatan berkembang secara proporsional,terarah dan terdidik, dan mendapatkan layanan pendidikan karakter yang berimbang. Tak hanya menekankan aspek kognitif lalu mengabaikan aspek afektif, tapi harus benar-benar berimbang. Mereka memiliki peran dan posisi strategis dalam kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagaimana uraian di atas tadi, bahwa mustahil seseorang yang berakal sehat mengingkari kehadiran pemuda dalam proses kemajuan dan kabangkitan bangsa-bangsa. Energi perubahan yang digerakkan oleh kaula muda itu, sejatinya memang memiliki pengaruh yang luar biasa. Sampai-sampai ada ungkapan dalam bahasa Arab, syubbaanul yaum rijaarul ghad, the youths of today is the leaders of tomorrow, pemuda hari ini adalah pemimpin di hari esok. Maka masa depan suatu bangsa dapat dilihat melalui tingkat kualifikasi kaula mudanya di waktu sekarang. Dari sini diketahui, masa depan sebuah bangsa terletak pada generasi mudanya, jika generasi mudanya bermental pemalas, rusak moral/akhlaknya, tak berbudi luhur, maka bisa dipastikan masa depan bangsa itu akan penuh dengan kemalangan bahkan kehancuran.
Dikutip dari Amīr Al-Syu'arā atau Pemimpin Para Penyair, Ahmad Sauqī yang menyatakan,

إِنَّمَا الأُمَمُ الأَخْلاقُ مَا بَقِيَتْ  # فَإِنْ هُمُ ذَهَبَتْ أَخْلاقُهُمْ ذَهَبُوا
Innamaa al-umamu al-akhlaaqu maa baqiyat, fa inhum dzahabat akhlaaquhum dzahabuu.
Artinya : “Sesungguhnya kejayaan suatu umat (bangsa) terletak pada akhlaknya selagi mereka masih berakhlak dan berbudi perangai utama, jika pada mereka telah hilang akhlaknya, maka jatuhlah umat (bangsa) itu.
            Akhlak bangsa adalah ruh kehidupan sebuah bangsa. Dan untuk membenahi akhlak bangsa dibutuhkan kerja dan usaha kolektif. Pemerintah, swasta dan segenap warga dari berbagai elemen harus bahu-membahu dalam alur kebersamaan untuk membangun pendidikan  akhlak pada setiap jiwa bangsa Indonesia. Jangan sampai sebagian membangun, yang lain malah merobohkan. Jika itu yang terjadi, maka pembangunan karakter negeri ini tidak akan selesai. Dikatakan oleh penyair Arab,
مــتــى يبلغ الـبـنـيـان يـــــومـــاً تـــمــامـــــه إذا كــنــت تــبـنـيـه وغـيــرك يهدم
Mataa yablughu al-bunyaanu yauman tamaamuhu, idzaa kunta tabniihi wa ghairuka yuhdimu.
“Kapan bangunan ini selesai, ketika kau selesai membangunnya, sedang orang lain dating meruntuhkannya.”
Pembangunan karakter bangsa Indonesia adalah pekerjaan rumah bersama, tak hanya pmerintah, tapi keikutsertaan seluruh elemen anak-anak bangsa sangat dibutuhkan untuk selesainya proyek besar ini (pendidikan karakter). Karena jika sesungguhnya kejayaan suatu bangsa Indonesia ini terletak pada akhlaknya selagi masih berakhlak dan berbudi perangai utama, jika pada bangsa ini  telah hilang akhlaknya, maka jatuh atau hancurlah bangsa ini.






[1] Karen E. Bohlin, Deborah Farmer, Kevin Ryan, Building Character in School Resource Guide (San Fransisco: Jossey Bass, 2001), hlm.1.
[2] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 2008), hlm.  639.
[3] http://oxforddictionaries.com/?attempted=true/8-52011
[4] إنّ الشخصية هي عبارة عن مجموعة من الخصال والطباع المتنوعة التي توجد في كيان الشخص باستمرار، حيث إنّها تميزه عن غيره
[5] Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa; Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa  (Jakarta: Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional, 2010), hlm. 3.
[6] Suyanto, Urgensi Pendidikan Karakter, dalam  http://waskitamandiribk.wordpress.com/2010/06/02/urgensi-pendidikan-karakter/2-5-2011
[7] Qomari Anwar, Nilai-Nilai Agama sebagai Acuran Membangun Karakter Bangsa, makalah disampaikan dalam Sarasehan Nasional “Pendidikan Karakter” yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Kopertis Wilayah III Jakarta, 12 Januari 2010.
[8] Al-Zamakhsyarī, Mahmud Ibn Umar Jārullāh (Wafat tahun 583 H/1134 M) Buku Asās Al-Balāghah, Kairo, Dār Al-Kutub, Cetakan 1 tahun 1922 M.
[9] Mahjuub, 'Abbaas, Ushuul Al-Fikr Al-Tarbawii fii Al-Islaam, Damaskus, Daar Ibnu Katsir, 1398 H/1978 M, hlm. 15.
تغذية الجسم وتربيته بما يحتاج إليه من مأكل ومشرب ليشّب قوياً معافى قادراً على مواجهة تكاليف الحياة ومشقاتها. فتغذية الإنسان والوصول به إلى حد الكمال هو معنى التربية، ويقصد بهذا المفهوم كلّ ما يُغذي في الإنسان جسماً وعقلاً وروحاً وإحساساً ووجداناً وعاطفة
[10] مجموعة من القيم الموجهة لسلوك الطفل لتحقيق أهدافه في الحياة
[11] Suyatno, Peran Pendidikan sebagai Modal Utama Membangun Karakter Bangsa, makalah disampaikan dalam Sarasehan Nasional “Pendidikan Karakter” yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Kopertis Wilayah III Jakarta, 12 Januari 2010
[12] Thomas Lickona, Educating  For Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility (New York:Bantam Books, 1992), hlm. 12-22. 
[13] Suyanto, Urgensi Pendidikan Karakter, dalam http://waskitamandiribk.wordpress.com/2010/06/02/urgensi-pendidikan-karakter/2-5-2011.
[14] Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa, hlm.  9-10.
[15] Suyanto, Urgensi Pendidikan Karakter, dalam http://waskitamandiribk.wordpress.com/2010/06/02/urgensi-pendidikan-karakter/2-5-2011. 
[16]  Mahmud Yunus, Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran, ( Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1978), hlm. 22.
[17] مجموعة من القيم الموجهة لسلوك الطفل لتحقيق أهدافه في الحياة

0 Comments