Perbedaan Adalah Sebuah Rahmat, Sebuah Keniscayaan, dan Keleluasaan Berpikir

Adalah sebuah indikasi positif bahwa kita terbebas dari sikap fanatik dan sektarianisme , jika kita mampu memberikan apresiasi dan aplaus kepada hal terbaik dari mereka yang berselisih dan berbeda pendapat dengan kita. Karena orang fantik itu biasanya, dia akan menutup mata terhadap kebaikan dari mereka yang berbeda pandangan dengannya.

Oleh sebab itu, supaya kita tidak terlalu kaku dan berpandangan picik, tidak ekstrem, tidak fanatik dan tidak bersikap kerdil, mari perbedaan itu kita sikapi dengan berembuk secara dialogis, tanpa emosional, stand tall, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, tiada merasa paling benar dan angkuh.

Karena sesungguhnya keberagaman pendapat, aneka macam model madzhab dan fikrah politik itu memang menjadi sebuah keniscayaan yang mutlak adanya. Itu sudah kodrat Illahi.

Bahkan dalam dunia demokrasi itu ada adagium bunyinya ;"to agree to disagree," bersepakat untuk berbeda pendapat.

Ada cerita menarik, dulu di sebuah desa di Mesir, penduduknya eker-ekeran dan hampir berkelahi fisik lantaran berbeda jumlah rakaat dalam sholat tarawih. Lantas ada seorang Imam besar bertanya kepada penduduk tersebut, "Apa hukum menjalankan sholat tarawih?". Penduduk itu menjawab "Sunnah Imam." Dilanjutkan oleh Sang Imam: "Lalu apa hukumnya persatuan umat?" Penduduk menjawab :"Wajib Imam." Sang Imam berkata: "Apakah saudara akan meninggalkan yang wajib demi yang sunnah". Penduduk desa terdiam dan menyadari kekeliruannya. Lantas mereka saling berpeluk dan meminta maaf. Mereka hampir berkelahi satu sama lain disebabkan karena terbelakang dan tidak mengerti tentang fiqh prioritas. Dan akhirnya mereka saling berkata :"Aku saudaramu, dan kamu saudaraku."


0 Comments