Manifestasi Ajaran Al-Quran Berujung Pada Keberkahan Politik Adiluhung

Mushaf Al-Qur'an.

Selaluvokalberdakwah, —  Sebuah konsensus bersama para ulama bahwa Al-Quran adalah rujukan pertama dan utama bagi umat Islam di seluruh dunia ini, dalam menghadapi segala macam perkara duniawi maupun ukhrawi. Selain itu, Al-Quran juga mejadi way of life yang harus dijelmakan oleh seluruh kaum Muslimin dalam setiap aspek kehidupan mereka : akidah, syariat dan akhlak, yang mana tentu tiga aspek tadi merekah menjadi lebih luas lagi, memasuki ranah sosial, ekonomi, budaya, politik dan lain sebagainya.

Sekali lagi penulis tegaskan, kedudukan Al-Quran dalam sistem politik Islam sebagai sumber rujukan tertinggi dalam penyelenggaraan kepemerintahan, Al-Quran is source of law, not book of law. Sangat berbahaya sekali jika Al-Quran diwahyu artikan sebagai buku hukum, karena hal itu akan membawa umat Islam menuju kemalangan yang sangat malang.

Penulis kurang sependapat dengan pengambilan kata dustūr dalam semboyan Al-Ikhwān Al-Muslimūn, akan tetapi kalau yang dimaksud dari kausal Al-Quran dustūruna adalah source of law, maka tidak menjadi soal. Sehingga parafrase yang bisa dihadirkan disini adalah, entitas dan komunitas kaum Muslimin akan menjadi lebih fleksibel karena memperlakukan Al-Quran sebagai kitab suci dari Allah, Swt., Sang Maha Pencipta, dimana kitab suci tersebut memberi arahan buat umat manusia, wabil khusus umat islam  sebagai makhluk atau ciptaan, dalam hal prinsip-prinsip moral dan etika.

Justifikasi Al-Quran soal politik sangat menekankan egalitarianisme atau dalam bahasa tasyrī'nya adalah al-musāwah bain al-nās, tegaknya keadilan, baik itu di bidang hukum, ekonomi, politik, sosial dan pendidikan. Di sinilah letak kedahsyatan politik Islam yang menjajakan prinsip moral persamaan dan keadilan di antara manusia.

Dalam konteks sejarah umat Islam di manapun, kejayaan, kemenangan dan keemasan Islam dan umat Islam bisa diraih, fast and sure, kalau Al-Quran menjadi tumpuan dalam pengambilan berbagai macam langkah dan strategi baik di bidang hukum, politik, ekonomi maupun strategi perang.

Al-Quran sebagai rujukan utama yang menjadi penentu dasar dan prinsip dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, sebagaimana yang ditunjukkan oleh baginda Rasul Muhammad, Saw., ketika memimpin Makkah dan Madinah, dilanjutkan oleh para Khulafaur rasyidin dan begitu juga oleh dinasti-dinasti islam selepas itu sampai kepada Ottoman Empire di Turki.

Namun gejala Al-Quran sebagai rujukan utama itu menjadi layu setelah penjajah barat memecah belah dan menguasai negeri-negeri muslim. Saat ini dengan founding and networking yang lebih kuat mereka menawarkan resep-resep perundang-undangan, yang pada intinya ingin menggeser kedudukan AL-Quran di mata kaum muslimin.

Ini penulis ingin cerita sedikit, suatu hari di tahun 1882, Gladstone seorang Perdana Menteri Inggris beragama kristian mendapat kesempatan berbicara di hadapan Parlemen Inggris tentang bagaimana caranya untuk melemahkan kekuatan umat islam di Mesir supaya Inggris bisa terus menjadi majikan agung yang setiap saat bisa memerintah.

Hingga pada akhirnya saat ia berbicara di atas podium, ia mengangkat mushaf Al-Quran dan mengatakan, selama buku Al-Quran ini masih tetap berada di tangan kaum muslimin, artinya still living at home with Al-Quran, Al-Quran masih dibaca, dikaji, dipahami dan diejawantahkan dalam kehidupan mereka. Maka negara itu akan kuat, dihormati dan disegani di dunia internasional. Secara deduktif si Gladstone tadi mengatakan, satu-satunya cara agar mereka menjadi bangsa jonggos, kerbau yang bisa dicocok hidung, adalah mencoba memisahkan kaum muslimin di Mesir dari Al-Quran.

Sesungguhnya simpulan sederhananya begini, orang di luar islam saja tahu kalau kekuatan umat Muhammad SAW ada pada kedekatannya dengan Al-Quran, at home dengan Al-Quran. Justru kita umat islam sendiri kurang menyadari hal itu.

Nah sebagai langkah usulan Gladstone tadi, dibuatlah semacam komite untuk menjauhkan umat islam dari kitab suci AL-Quran, dengan cara mengirim beberapa ahli superb troops ke Mesir yang akan melemahkan iman mereka, menjauhkan mereka dari kitabullah dengan cara membuat mereka curiga terhadap kebenaran Al-Quran. Tentu supaya umat islam di kemudian hari tidak lagi merujuk pada kitab suci mereka itu dan malah secara pelan-pelan mereka berbalik melawan cara-cara hidup islami.

Yang terjadi di negeri-negeri muslim saat ini adalah tidak adanya al-musaawah al-‘adaalah, gerakan islam dibekukan, banyak kader-kader islam yang malah dicurigai, kezaliman ekonomi merajalela, maraknya penganiayaan terhadap si miskin dan si lemah, dan di mana-mana bisa kita temukan tingginya kesengjangan sosial.

Demi kemaslahatan, penulis tidak boleh terlalu jauh mengomentari politik terkini di Mesir. Tetapi memang kemalangan yang terjadi di negeri-negeri Arab saat ini, boleh jadi karena Al-Qur’an sudah tidak lagi sepenuhnya menjadi model gaya hidup mereka. Setelah melihat Al-Quran secara utuh, maka sesungguhnya inti ajaran islam itu adalah gerakan pembebasan. Sejak dulu sampai seterusnya, islam akan selalu mengkampanyekan gerakan pembebasan atau gerakan tauhid/nilai kebenaran di punggung bumi ini seperti yang telah dilakukan oleh rusul dan anbiya’ullah. Islam dengan kitab suci Al-Quran menjadi penawar bagi hati yang belum meneb atau belum mengkristal. Islam seimbang dalam dua pengisian: pengisian hati dan akal. Islam selalu menghidupkan hati yang mati dengan nur tauhid, mengesakan Allah SWT sang Khaliq, tetapi islam tidak lantas membiarkan hati yang sudah  hidup tadi tunduk, bersabar tidak bergerak menghadapi kezaliman dan keaniayaan dalam segala macam bentuk oleh suatu kekuasaan di atas permukaan bumi ini.

Kehidupan ini akan menjadi indah kalau syari'at islam bisa tegak. Umat islamnya ketika melihat berbagai bentuk ketidak-adilan di sepanjang jalan, bertemu dengan kediktaktoran di setiap saat, maka tangan, lidah dan seluruh kemampuaannya akan bergerak melawan kesewenang-wenangan tersebut. Kalau yang terjadi adalah umat islam kok masih diam saja melihat kezaliman terjadi, sesungguhnya hati mereka belum tergugat oleh ajaran tauhid islam, karena hati yang sudah tergugat, sudah mengkristal imannya, tentu akan berubah menjadi gerakan nyata, beramal shaleh, beramar ma'ruf nahi munkar, dan kondisi umat akan berubah menjadi mujahid-mujahid yang betul-betul berjuang demi tegaknya kalimatul haq.

Dan umat islam yang mampu merasakan ajaran tauhid/ajaran Al-Quran di hatinya, tidak mungkin membiarkan penguasa yang zalim berbuat aniaya di atas muka bumi ini, dengan menjadikan manusia sebagai budak beliannya, atau jonggosnya yang bisa dikangkangi setiap saat, padahal tiap-tiap manusia dilahirkan oleh ibu mereka sebagai orang yang merdeka.

Nah kesimpulannya adalah, keberkahan politik adiluhung Al-Quran akan kita dapat, jika kita umat islam ini berani dan mampu untuk mengatakan yang benar itu benar, yang batil itu batil kapan dan di manapun kita berada.

Para pembaca sekalian yang budiman, memang sekarang ini di panggung dunia terjadi pertarungan keagamaan bertopengkan ideologi dan intelektual.  Huntington tidak sampai hati mengatakan dalam bukunya the clash of religions, tetapi the clash of civilizations. Namun kita harus sadar bahwa peradaban-peradaban besar di dunia ini lahir dari agama-agama yang besar yang menggerakkan, memotivasi pemeluknya untuk terus mengembangkan peradaban yang ada menjadi lebih agung. Dan untuk membangun peradaban islam yang berkemajuan diperlukan manusia dengan akhlaq yang qurani.

Kita umat islam juga harus menyadari bahwa pada abad sekarang dan mendatang akan terjadi intellectual invasion yang dipaksakan ke dunia islam ini, sehingga untuk memukul balik itu harus dengan paradigma intelektual yang betul-betul qurani. Karena tantangan intellectual invasion yang dipaksakan ke dunia islam tadi wujudnya bermacam-macam, ada islamofobia, 'ilmaniyah atau secularism, atheis dan lain-lain.

Selama barat masih mengidap arogansi bahwa mereka adalah yang paling bagus, paling maju, sehingga mereka tidak pernah bersedia menerima dunia islam menjadi maju. Merekapun berusaha melemahkan umat islam, dengan mengembangkan islamofobia, kemudian mengambarkan seolah-olah islam itu suka darah, suka kekerasan, suka perang dan sebagainya. Jadi barat tidak ingin melihat umat islam maju, teknologinya makin maju, barat tidak ingin Iran memiliki kekuatan nuklir, atau ekonomi Turki mau melampaui Spanyol dan Italia, atau barat tidak ingin Mesir dipimpin oleh orang-orang yang berani dan ingin maju dan lain-lain.

Maaf agak masuk sedikit tentang Mesir, sesungguhnya kalau di sini sebuah momok yang menakutkan, ialah mengungkit-ungkit kembali, mengingat-ingat kembali peristiwa tragedi kemanusiaan di tahun 2013 yang lalu, dan menurut penulis kejadian itu adalah sebagai bukti kuat akan bangkitnya tindakan otoritarianisme yang lebih hebat dari masa sebelumnya. Marx menuliskan bahwa sejarah berulang kembali, di awali dengan sebuah tragedi, lantas selanjutnya hanya sebagai lelucon saja, teater atau akrobat politik yang hanya dagelan saja.

Political climete yang ada sekarang hanyalah lelucon sandiwara saja. Karena memang kondisi yang ada menunjukkan tidak adanya iklim keterbukaan politik, iklim kebebasan berpendapat, sehingga yang terjadi demokrasi menjadi sakit dan cacat. Dengan mata telanjang dan sangat hati-hati penulis katakan di sini, bahwa intervensi militer yang kembali masuk ke ranah politik praktis mengisyaratkan revolusi 25 Januari dikebiri, dan psychology of fear atau climate of fear and paranoia yang terus akan diabadikan dengan maksud supaya rezim lama bercokol kembali, dan statusnya itu tidak mudah digoyah oleh elemen manapun.

Ada parodi komedi yang menurut penulis sangat tidak lucu, sekarang di sini itu menjadi tempat yang paling berbahaya di dunia bagi para wartawan yang masih berpegang teguh pada kejujuran. Karena arus media yang ada itu semuanya satu arah, nah ini kalau dalam alam demokrasi yang utuh, ini tidak bakalan terjadi.

Dalam alam demokrasi yang betul-betul utuh tidak ada upaya pemerintah menekan semua kekuatan politik independen yang berbeda pandangan. Sehingga arus opini publik bisa searah begitu rupa. Penulis sebenarnya ingin bicara tentang partai orang salafi An-Nuur, El-Baradai, Hamdan Shabbahi dan lain-lain, tetapi tidak cocok untuk tulisan ini.

Written by: Thoriq Aziz
(Eks Mahasiswa Preparation Precedes di Departemen Bahasa Al-Azhar Kairo 2013-2014)

0 Comments