Muhammad, Saw., Nabi Pembawa Rahmat yang Sederhana


Google pic.


Muhammad, Saw., Nabi Pembawa Rahmat yang Sederhana[1]

Tak diragukan bahwa awal maksud dari diutusnya Nabi Muhammad, Saw., ialah sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam. Hal ini seperti termaktub dalam Q.S. Al-Anbiya (21): 107 yang berbunyi,

ومَا أَرْسَلْنَاكَ إلاَّ رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Nabi Muhammad), melainkan hanya untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.

Jika dilihat dari shiyagh (bentuk) kalimat dari ayat ini, mengandung gaya bahasa atau uslūb al-qashr. Setelah huruf yang mengandung makna nafī (peniadaan), datang huruf illā yang mengandung makna istitsnā' (exception atau pengecualian). Tiadalah Kami mengutus kamu (nafī), melainkan hanya untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (istitsnā'). Yang artinya tidaklah engkau Muhammad kecuali menjadi rahmat bagi semesta alam.

            Suatu ketika Nabi Muhammad, Saw., memasuki sebuah rumah milik anak perempuan pamannya di sekitar Ka'bah yang bernama Ummu Hāni' binti Abi Thālib, dan Nabi, Saw., menanyakan tentang lauk pauk. Kemudian Ummu Hāni binti Abi Thālib itu menjawab: "Kami tidak punya apapun kecuali cuka." Jadi Ummu Hani' ini tidak memiliki apa-apa kecuali cuka untuk sajian yang hendak dihidangkan kepada Rasūlullāh. Tidak ada ayam yang dapat dipotong untuk menjamu baginda Rasūl. Tidak ada daging kambing yang bisa dimasak untuk dihidangkan kepada baginda Rasūl. Tidak ada air susu, madu, atau qisythah (semacam manisan), untuk mentreatment Nabi SAW. Tidak ada daging sapi yang dapat dipersembahkan sebagai lauk pauk untuk Nabiyullāh Muhammad, Saw. Kemudian Nabi, Saw., bersabda :

نِعْمَ الإدَامُ الخَلُّ , نِعْمَ الإدَامُ الخَلُّ

“Sebaik-baik lauk pauk adalah cuka, sebaik-baik lauk pauk adalah cuka.”[2]

Atau dalam riwayat lain dikatakan:

نِعْمَ الإدَامُ الخَلُّ، اللَّهُمَّ بَارِكْ فى الخَلِّ، فإنه كان إدامَ الأنبياء قبلى، ولَمْ يَفْتَقِر بيتٌ فيه الخَلُّ

 “Sebaik-baik lauk pauk adalah cuka. Semoga berkah Allah ada di cuka ini, karena sesungguhnya makanan atau lauk pauknya para ambiyaullah yang telah mendahuluiku itupun juga cuka, dan rumah yang menghidangkan cuka itu tidak akan miskin.”[3]

Rasūlullāh yang menjadi pionir waktu itu, menjadi tokoh besar revolusi kemanusian multidimensional, yang membawa masyarakat bangsa arab dan non arab dari masa kegelapan jahiliyah menuju masa yang terang, penuh hidayah dan kejayaan ini, Nabi yang memiliki kedudukan paling tinggi di jazirah arab pada waktu itu, makanannya roti seadanya ditambah lauk pauknya adalah cuka. Sebaik-baik lauk pauk adalah cuka. Ini adalah Nabi Muhammad S.A.W pembawa risalah tauhid, dengan segala kesederhanaan dalam hal keduniawian.

Ketika Umar bin Khattāb, R.A., pertama kalinya masuk ke kediaman baginda Rasul Muhammad, Saw., dan waktu itu beliau sedang berbaring miring di atas matras atau tikar. Maka ketika Rasūlullāh bangun dari matrasnya menyambut Umar, Umar melihat bahwa tikar atau matras tadi meninggalkan bekas di sisi pingang atau pinggul beliau. Lalu Umar melihat-lihat rumah beliau, Saw., dan Umar tidak mendapati sesuatu kecuali gandum atau beras berkecambah, serta Umar menemukan kulit hewan sebagai penutup sebelum disamak tergantung di atas dinding. Kemudian Umar bin Khattāb menangisi Rasūlullāh, Saw., dan berkata kepada Rasul: Ya Rasul, sungguh Kisra (Raja Persia) dan Kaisar (Raja Romawi) berada dalam kemegahannnya. Sementara engkau adalah utusan Allah. Kenapa engkau tidur di atas tikar dan sesederhana ini, hingga di pinggangmu ada bekas tikar itu?  Lalu Rasulullah bersabda:

أما ترضى أن تكون لهم الدنيا وتكون لنا في الآخرة

“Tidakkah engkau rida mereka mendapatkan dunia sedangkan kita mendapatkan akherat?”

Nabi, Saw., mendidik umatnya untuk tahu hakikat dunia. Jangan sampai dunia ini dijadikan sebagai tujuan, dunia ini hanyalah wasilah. Nabi, Saw., menyeru umatnya agar dunia ini cukup dipegang dalam tangan, dan jangan sampai masuk ke dalam hati. Nabi, Saw.. sebagai khalīfah pada saat itu, atau menggunakan pendekatan modern saat ini, beliau adalah Presiden, namun beliau bersikap sangat sederhana sekali, bahkan dalam penggunaan air.

Rasulullah melihat sebagian sahabat boros dalam mengunakan air saat berwudhu, lantas Nabi, Saw. bersabda,

لا تسرف وَإِنْ كُنْتَ عَلَى نَهْرٍ جَارٍ

"Janganlah kamu berlaku boros meskipun kamu berada di atas sungai yang deras airnya."

Nabi, Saw mengajarkan untuk berlaku sedang (sederhana), karena itu adalah akhlak dan kelaziman bagi seorang muslim.


[1] Ditulis oleh Muh. Thoriq Aziz Kusuma
[2] H.R. Muslim : 2051
[3] Hadis dari Ummu Sa’din

0 Comments