Apakah Syukur atas Musibah akan Menambah Musibah?


Apakah Syukur atas Musibah akan Menambah Musibah?
Oleh Muh. Thoriq Aziz Kusuma

Google pic.

Jatijuruwarta.com, — Syukur atas musibah hukumnya adalah mustahab atau dianjurkan (recomended). Hal ini karena syukur atas musibah itu lebih tinggi derajatnya dari pada rida atas musibah. 

Ibnu Al-Qayyim, Rahimahullāhu ta'ālā., berkata, musibah yang terjadi pada seorang hamba, dan baginya tak ada daya upaya untuk menghadapinya, seperti kematian yang menyakitkannya, pencurian atas hartanya, sakit yang ia derita, dan lain sebagainya, maka bagi seorang hamba dalam hal ini ada empat maqām atau derajat/kedudukan. 

Pertama, maqām al-'ajzi (derajat lemah). Dalam hal ini ialah derajat atau kondisi ragu-ragu, penuh keresahan dan keluhan, serta ketidakrelaan. Kondisi seperti ini sangat jarang ditemukan di kalangan orang-orang yang berakal, beragama dan memiliki keluhuran budi.

Kedua, maqām al-shabri, (derajat sabar). Dalam kedudukan ini, bisa jadi sabar karena Allah, Swt., atau karena keluhuran budi kemanusiaan yang dimiliki.

Ketiga, maqām al-ridā (derajat rida). Kedudukan atau derajat ini lebih tinggi dari derajat sabar.

Keempat, maqām al-syukri (derajat syukur). Kedudukan atau derajat ini lebih tinggi dari derajat rida, karena berbagai ujian, cobaan dan musibah sebagai nikmat,  bersyukur kepada penguji atas ujian, cobaan atau musibah yang diberikan.

Al-Qāsimī, Rahimahullāhu ta'ālā., menyatakan,  ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada nikmat yang berasal dari nikmat keduniawian melainkan bisa jadi menjadi ujian, cobaan dan musibah. Bisa jadi pada seorang hamba terjadi kebaikan dalam kondisi miskin dan sakit, sedangkan bisa jadi meskipun ia sehat badannya dan banyak hartanya,  namun ia angkuh dan sombong serta melampaui batas.

وَلَوْ بَسَطَ اللّٰهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهٖ لَبَغَوْا فِى الْاَرْضِ وَلٰكِنْ يُّنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَّا يَشَآءُ ۗ اِنَّهٗ بِعِبَادِهٖ خَبِيْرٌۢ بَصِيْرٌ

"Dan sekiranya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya niscaya mereka akan berbuat melampaui batas di bumi, tetapi Dia menurunkan dengan ukuran yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Maha Mengetahui terhadap (keadaan) hamba-hamba-Nya, Maha Melihat." (QS. Al-Syura : 27)

كَلَّاۤ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَيَطْغٰۤى ۙ  * اَنْ رَّاٰهُ اسْتَغْنٰى ۗ 

"Sekali-kali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampaui batas, * apabila melihat dirinya serba cukup." (QS. Al-'Alaq : 6-7)

Demikian juga pada istri, anak dan keluarga, sungguh Allah, Swt., tidak menciptakan sesuatu melainkan ada hikmat dan nikmat.

Musibah adalah salah satu yang Allah, Swt., ciptakan. Dalam musibah terkandung juga nikmat. Nikmat bagi yang tertimpa musibah atau bagi yang lain. Oleh sebab itu setiap hal yang terjadi tak dapat disifati secara mutlak padanya sebagai sebuah musibah, dan tidak pula disifati secara mutlak sebagai nikmat. Maka dalam hal ini, ada pada diri seorang hamba dua kewajiban, kewajiban untuk bersikap sabar dan syukur secara seiring.

Bilamana dikatakan, sejatinya dua hal itu, sabar dan syukur itu adalah dua kata yang saling bertentangan, bagaimana bisa berkoalisi. Sabar tidak terjadi melainkan pada saat situasi duka atau sedih, sedang syukur tidak terjadi melainkan pada saat bahagia atau gembira.

Ketahuilah,  sesungguhnya setiap sesuatu bisa jadi menjadi kesedihan bagi seseorang,  namun bisa juga menjadi menyenangkan bagi seseorang yang lain, maka sabar ketika dalam kondisi sedih, dan bersyukur ketika dalam kondisi gembira.

Setiap kefakiran, sakit, ketakutan dan musibah di dunia ini, terdapat lima hal yang membuat seorang yang berakal itu merasa gembira dan terus bersyukur.

Lima hal itu adalah :

Pertama, musibah dan sakit itu bisa lebih berat dan parah dari musibah dan sakit yang diderita, demikian karena takdir-takdir Allah, Swt., tidak pernah saling melarang. Allah, Swt., dengan kuasaNya berhak mengurangi dan menambah musibah yang ada, tidak ada seorang pun yang dapat menolak dan membatasi kuasaNya. Maka orang yang berakal akan bersyukur karena musibah yang diberikan tidak lebih parah dan besar.

Kedua,  bisa jadi musibah itu terjadi menimpa pada urusan agama seorang hamba.  Sebagaimana dikabarkan dalam doa Nabi, Saw.,

وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا

“Dan janganlah Engkau jadikan musibah kami pada agama kami.” (HR. Al-Tirmidzī)

Di hadits yang lain Rasul, Saw., juga mengajarkan doa kepada umatnya,

اللَّهُمَّ لا تَجعَلِ الدُّنيَا أكْبَرَ هَمِّنَا وَلا مَبلَغَ عِلْمِنَا

“Ya Allah, janganlah dunia ini menjadi impian terbesar kami, serta pengetahuan kami yang tertinggi.” (HR. Al-Tirmidzī)

Ketiga, bahwa musibah yang terjadi adalah bagian dari 'uqūbah atau hukuman dunia. Musibah dunia menghibur diri seorang hamba dari pada hukuman akherat.

Musibah dunia menenangkan dan ringan, sedangkan musibah akherat bersifat permanen dan berat. Maka boleh jadi musibah dunia ini merupakan musibah yang diperpendek dan tidak ditangguhkan menjadi musibah akherat. Oleh sebab itu,  maka seorang hamba akan bersyukur kepada Allah, Swt., atas segala yang terjadi padanya dari musibah dunia.

Keempat, bahwa musibah dan bencana ini sudah tertulis dalam ummu al-kitāb, dan semua yang sudah tertulis akan terjadi, kemudian musibah itu pergi secara diam-diam, setelah itu ada masa jeda dan peralihan.  Maka ini adalah nikmat yang seyogyanya disikapi dengan syukur.

Dawāmu al-hāl muhāl, tetapnya sebuah keadaan adalah sebuah kemustahilan. Sudah menjadi semestinya (sunnatullāh) terjadi perubahan dalam kehidupan manusia. 

وَتِلْكَ الْاَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ

“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)." (QS. Ali 'Imran : 140)

Kelima, bahwa pahala atas terjadinya musibah lebih besar dari pada musibah yang diberikan. Sesungguhnya musibah dunia adalah jalan menuju akherat. Dan setiap musibah dalam urusan-urusan dunia, semisal obat yang terasa sakit dan pahit pada masa sekarang, akan membawa manfaat di kemudian hari sebagai sebuah konsekuensi.

Dan barang siapa mengetahui ini semua, maka ia akan bersyukur, dan demikian sebaliknya. Karena sejatinya syukur itu menyertai pengetahuan atas nikmat sebagai sebuah kemestian. Dan barang siapa tidak mengimani bahwa pahala musibah lebih besar dari pada musibah yang diberikan, maka ia belum sampai pada maqām ini dan tidak berterima kasih, tidak bersyukur atas musibah yanh diberikan.

Bersama keistimewaan dan keutamaan dari nikmat yang ada dalam setiap musibah, Nabi,  Saw.,  juga dalam doanya memohon perlindungan dari musibah dunia, azab akherat, dan berlindung dari musuh-musuh, dan lain-lain.  Dalam doanya,  Nabi, Saw., berdoa :

وَعَافِيَتُكَ أَحَبُّ إِلَيّ َ
"Dan afiyat-Mu (penolakan dari segala keburukan) bagiku lebih ku cintai."


Cara Bersyukur kepada Allah Swt., atas Musibah ?

Ada dua cara bersyukur kepada Allah Swt., atas musibah yang diberikan.

Pertama, melihat kepada orang lain yang mendapatkan musibah lebih besar dari pada kita. Hal ini akan membuat kita bersyukur kepada Allah, Swt., karena musibah yang lebih besar dan berat itu tidak menimpa kita.

Kedua, mengetahui bahwa musibah yang ada ini mengantarkan kita pada dihapusnya kesalahan dan dosa-dosa, serta diangkatnya derajat bilamana kita bersabar, dan balasan yang akan diberikan kelak di akherat lebih baik dari pada di dunia. Dengan demikian kita akan banyak bersyukur kepada Allah, Swt., atas segala yang terjadi.

Sesungguhnya manusia yang paling dashyat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang-orang saleh, kemudian orang-orang serupa lalu orang-orang yang serupa.

أَشَدُّ النَّاسِ بَلاَءً اْلأَنِبْيَاءُ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلٰى حَسًبِ ( وَفِي رِوَايَةٍ قَدْرِ ) دِيْنُهُ فَإِنْ كَانَ دِيْنُهُ صَلَبًا اِشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِي دِيْنِهِ رِقَةٌ اُبْتُلِيُ عَلٰى حَسَبِ دِيْنُهِ فَمَا يَبْرَحُ اْلبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتىٰ يَتْرُكَهُ يَمْشِيْ عَلَى اْلأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيْئَةُ .

"Manusia yang paling dashyat cobaannya adalah para Nabi, kemudian orang-orang serupa lalu orang-orang yang serupa. Seseorang itu diuji menurut ukuran (dalam suatu riwayat ‘kadar’) agamanya. Jika agama kuat, maka cobaannya pun dashyat. Dan jika agamanya lemah, maka ia diuji menurut agamanya. Maka cobaan akan selalu menimpa seseorang sehingga membiarkannya berjalan di muka bumi, tanpa tertimpa kesalahan lagi.” (HR. Al-Tirmidzī)

Semoga dengan musibah dan cobaan ini, kita menjadi orang-orang saleh. Maka kita bersyukur kepada Allah, Swt.,  atas segala nikmat.

Syukur atas musibah yang diberikan hukumnya mustahab atau dianjurkan, karena hal itu derajatnya di atas rida, karena syukur adalah rida dan ziyādah (bertambahnya nikmat).

Sabar atas musibah yang terjadi bagi seorang muslim adalah sebuah kewajiban. Seorang yang bersabar,  ia akan menanggung segala musibah yang ada dengan sabar, ia tahu bahwa musibah itu melelahkan, serba sulit dan ia tak menginginkan hal itu terjadi. Namun ia menanggungnya dengan bersabar,  menahan diri dari hal-hal yang dilarang,  ini adalah kewajiban bagi seorang hamba yang beriman.

Sementara orang rida maka ia tak memperdulikan musibah ini,  ia yakin semua musibah datangnya dari Allah, Swt., maka wajib baginya bersikap rida dengan sepenuh hati. Derajat rida lebih tinggi dari sabar. Adapun orang yang bersyukur ia lebih tinggi lagi dari orang yang sabar dan rida, karena ia bersyukur kepada Allah, Swt., atas apa yang Dia berikan, baik yang mengenakkan atau tidak.

Syukur atas musibah tidak mengantarkan seseorang kepada ditambahnya musibah. Karena Firman Allah, Swt., 

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّـكُمْ
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu." (QS. Ibrahim : 7)

Dalam hal ini adalah syukur atas nikmat,  bukan syukur atas musibah. Kita perhatikan lanjutan ayatnya, 

وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

"Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat." (QS. Ibrahim : 7)

Al-Sa'dī, Rahimahullāh, mengatakan bahwa, "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan," artinya Allah, Swt., telah memberitahukan dan menjanjikan. Sementara,  "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu," ayat ini menunjukkan makna ditambahnya nikmat. Dan, "Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat, " ayat ini mengandung maksud,  jika kufur maka nikmat yang telah diberikan akan dicabut. 

Syukur adalah bentuk pengakuan atas segala nikmat yang telah diberikan oleh Allah, Swt.,  dalam hati, dan memujiNya, serta bergegas menuju amal peribadatan yang diridaiNya. Sedangkan kufur adalah lawan dari syukur.

0 Comments