Saat Salat, Pandangan Diarahkan Kemana?


Saat Salat, Pandangan Diarahkan Kemana?[1]

Google pic.

Jatijuruwarta.com, —  Allah, Swt., berfirman,

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَـرَامِ ۗ وَحَيْثُ مَاكُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗ

"Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu." (QS. Al-Baqarah : 144)

Para ulama berbeda pendapat mengenai arah pandangan di saat salat, namun mereka mencapai titik temu bersama bahwa syarat sah salat adalah menghadap kiblat.

Kalangan Mālikiyyah berpendapat bahwa seorang yang salat dianjurkan baginya melihat atau mengarahkan  wajahnya ke depan sesuai dengan motif proporsional, tidak mengangkat kepala maupun merendahkan.

Kalangan lain berpendapat bahwa seorang yang salat dianjurkan baginya melihat atau mengarahkan pandangan ke tempat sujud.

Sebagaimana riwayat Ibn Sīrīn, bahwa adalah Rasūlullāh, Saw., memalingkan pandangannya ke arah langit. Turunlah ayat 2 Surat Al-Mukminūn, maka Rasūlullāh, Saw., merendahkan kepalanya.

الَّذِيْنَ هُمْ فِيْ صَلَا تِهِمْ خَاشِعُوْنَ

"(yaitu) orang yang khusyuk dalam sholatnya." (QS. Al-Mu'minun : 2)

HR. Al-Baihaqī dan Sa'īd Ibn Manshūr,  menambahkan bahwa dianjurkan bagi laki-laki untuk tidak melewati pandangannya dari tempat salatnya.

Syarīk Ibn 'Abdullāh Al-Qādhī berpendapat, dikala dalam posisi berdiri pandangan diarahkan ke tempat sujud, di saat rukuk diarahkan ke tempat kedua kaki, di saat sujud di tempat hidung, dan di saat duduk diarahkan ke pembatasnya.

Para ulama sepakat tentang makruhnya menoleh dan mengangkat pandangan ke arah langit. Sebagaimana  HR. Al-Bukhāri dari 'Āisyah, 

هو اختلاس يختلسه الشيطان من صلاة العبد

"Itu adalah pencurian yang dilakukan setan terhadap shalat seorang hamba."

Sedangkan menoleh karena ada keperluan atau hājat, maka hukumnya tidak makruh, dengan syarat menolehnya tersebut bersifat ringan.

Dalam kitab Al-Muwaththa' dan sebagainya,  terdapat hadis Sahal Ibn Sa'ad, Ra., dalam salatnya Abu Bakar saat menjadi imam di antara manusia tatkala Nabi, Saw., berhalangan hadir.

Adalah pada saat itu Abu Bakar, Ra., tidak menoleh dalam salatnya. Maka ketika banyak orang tepuk tangan, ia menoleh. Sementara Nabi, Saw., mengisyaratkan untuk tetap di tempat.

Al-Nawawī menyatakan bolehnya menoleh karena ada keperluan atau hājat, dan para ulama menyepakati menoleh yang mengakibatkan sampai membelakangi kiblat adalah membatalkan salat.

Wa Allāhu a'lam wa a'lā.



[1] Disampaikan oleh Muh. Thoriq Aziz Kusuma dalam kajian rutin Remaja Masjid Al-Huda Pandeyan, Desa Pandeyan, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali, Sabtu (4/1/2020) malam.


0 Comments