Oleh Muh. Thoriq Aziz Kusuma
Ketahui Format Baru Bacaan Azan Sebab Wabah Corona, "Alā Shallū fī Buyūtikum" |
Vokalberdakwah, — Arahan dan larangan dari pihak terkait berwenang, yakni otoritas kesehatan dan pemerintah untuk tidak menggelar acara yang sifatnya mengumpulkan orang atau membuat kerumunan. Larangan tersebut bertujuan agar tidak terjadinya penyebaran virus corona alias covid -19.
Maklumat Kapolri dengan nomor Mak/2/lll/2020 tentang kepatuhan terhadap kebijakan pemerintah dalam penanganan penyebaran Virus Corona (Covid-19) pada tanggal 19 Maret 2020. Sekaligus, mengikuti instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menerapkan social distancing.
Selain itu, MUI juga mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 tentang tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19 pada Senin (16/3).
Dalam fatwanya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melarang pelaksanaan ibadah secara berkerumun di daerah yang terpapar corona. MUI menyebut sejumlah ibadah, seperti majelis taklim, salat Jumat berjamaah, salat wajib berjamaah, salat tarawih, dan salat Id.
Terkhusus mengenai dihentikannya sementara penyelenggaraan salat Jumat dan berjemaah, serta ditutupnya masjid-masjid, dan hanya mencukupkan dengan mengumandangkan azan di masjid-masjid tanpa jemaah dengan format baru bacaan azan. Di sini Al-Faqīr il ā Allāh Ta'ālā, ingin menyampaikan format baru bacaan azan, sebagai berikut:
اللهُ أكبر , اللهُ أكبر .. اللهُ أكبر , اللهُ أكبر
أشهد أن لا إلهَ إلا الله. أشهد أن لا إله إلا الله
أشهد أن محمدًا رسولُ الله . أشهد أن محمدًا رسول الله
ألَا صَلًوا في بيوتكم
ألا صلوا في رحالكم
الله أكبر الله أكبر
لا إله إلا الله
Keputusan dan ketetapan ini didasarkan pada pertimbangan hukum syar'i dan maslahat nasional mengenai penting dan prioritasnya menjaga keselamatan diri (nyawa), yang mana hal ini merupakan perkara yang terpenting dari tujuan-tujuan syariat. Selain itu, juga atas pertimbangan yang berdasarkan pada pendapat ilmiah dari Kementerian Kesehatan Indonesia beserta para ilmuan kesehatan dan dokter, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan organisasi kesehatan lainnya di berbagai negara di dunia yang mengkonfirmasi bahaya ekstrem terhadap kegiatan mengumpulkan orang atau membuat kerumunan. Karena hal ini dapat berakibat pada celah besar penularan virus corona dan menimbulkan ancaman kematian terhadap kehidupan manusia.
Dalil atau legalitas mengenai peniadaan penyelenggaraan salat Jumat dan berjamaah di Masjid untuk menghindari penyebaran dan penularan virus corona adalah hadis Nabi, Saw., dari Abdullah Ibn Abbas, Ra., sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ: ” إِذَا قُلْتَ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، فَلَا تَقُلْ: حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، قُلْ: صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ “، قَالَ: فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ، فَقَالَ: أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا، قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي، إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ، وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِي الطِّينِ وَالدَّحْضِ
“Dari Abdillah bin Abbas, beliau berkata kepada juru adzannya di hari-hari penuh hujan, ‘Jika engkau sudah mengumandangkan asyhadu an lâ ilâha illallâh, asyhadu anna muhammadan rasûlullâh (aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah), maka jangan ucapkan hayya ‘alash shalâh (kemarilah untuk shalat), namun ucapkan shallû fî buyûtikum (salatlah di rumah-rumah kalian).’ Juru adzan berkata, ‘Sepertinya orang-orang mengingkari pandangan tersebut.’ Ibnu Abbas menjawab, ‘Apakah engkau merasa aneh dengan ini? Sungguh telah melakukan hal tersebut orang yang lebih baik dariku. Sesungguhnya Jumatan adalah hal yang wajib, namun aku benci memberatkan kepada kalian sehingga kalian berjalan di lelumpuran dan jalan yang rawan terpeleset’.” (HR Muslim).
Hadis tersebut menunjukan bahwa hujan menjadi sebab diringankannya urusan jamaah dan Jumatan. Al-Imam al-Nawawi mengatakan dalam penjelasan hadits di atas:
هذا الحديث دليل على تخفيف أمر الجماعة في المطر ونحوه من الأعذار
“Hadis ini menunjukan diringankannya urusan jamaah disebabkan hujan dan sejenisnya dari beberapa uzur” (Syekh al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, juz 5, hal. 207).
Dengan kata lain, perintah dalam hadis tersebut ialah meninggalkan jemaah untuk menghindari kesulitan yang disebabkan karena hujan. Dan tidak ada keraguan lagi bahwa risiko virus lebih besar dari pada kesulitan saat pergi ke Masjid ketika hujan lebat. Jadi dalam syariat terdapat keringanan (rukhash) untuk meninggalkan salat Jumat dan berjemaah di Masjid dalam kondisi pandemi corona seperti saat ini (untuk menghindari penyebaran corona). Keringanan ini legal dan diakui secara akal sehat dan yurisprudensi, dan sebagai pengganti salat Jumat ialah salat di rumah dengan empat rakaat salat atau tempat mana pun yang tidak ramai (tidak melanggar ketentuan, tempat bersih dan terbebas dari najis).
Para Fuqaha menyimpulkan bahwa kondisi takut (ketakutan) terhadap keselamatan diri, harta dan keluarga adalah merupakan alasan yang mengizinkan orang untuk meninggalkan salat Jumat dan salat berjamaah di Masjid.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ أَبِي جَنَابٍ عَنْ مَغْرَاءَ الْعَبْدِيِّ عَنْ عَدِيِّ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَمِعَ الْمُنَادِيَ فَلَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ اتِّبَاعِهِ عُذْرٌ قَالُوا وَمَا الْعُذْرُ قَالَ خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ لَمْ تُقْبَلْ مِنْهُ الصَّلَاةُ الَّتِي صَلَّى
Qutaibah meriwayatkan kepada kami, katanya: jarir meriwayatkan kepada kami daripada Abi Janab daripada Maghra’ Al-`Abdi daripada `Adi bin Tsabit daripada Sa`id bin Jubair dari pada Ibn `Abbas, beliau berkata: Rasulullah, Saw., bersabda: “Sesiapa yang mendengar mu’adzdzin dan tiada apa-apa (sebarang ke`uzuran) yang menghalangnya untuk mengikuti panggilannya (berjama`ah), – para sahabat bertanya: Apakah ke`uzuran itu? Nabi, Saw., menjawab: “Ketakutan ataupun kesakitan” – niscaya tidak diterima sembahyang (salat) yang dikerjakannya itu.” (HR. Abu Dawud)
0 Comments