Virus Corona 2019—20 dan Fikih Karantina


Oleh Muh. Thoriq Aziz Kusuma

Virus Corona 2019—20 dan Fikih Karantina

Vokalberdakwah,  — Di masa-masa yang serba sulit, penuh penderitaan dan kepedihan seperti ini, dikarenakan keganasan pandemi virus corona 2019—20, agama menjadi sumber ketenangan dan kepastian. 

Virus corona ini meluas di seluruh dunia hingga mengenai beberapa pejabat politik dan tokoh. Hal ini membuat banyak orang berkeyakinan, bahwa ajaran Islam akan sangat berkontribusi untuk membatasi penyebaran virus ini, jika ditaati ajarannya.

Islam membawa banyak sekali ajaran-ajaran atau syariat bagi manusia, dimana ajaran-ajaran ini merupakan hal pertama yang mesti diterapkan oleh pemerintah, termasuk ajaran karantina, kemudian menjaga kebersihan, dan ajaran-ajaran yang lain, seperti memakan makanan-makanan yang halal dan thayyib (baik).

Fikih Karantina

Karantina didefinisikan sebagai sebuah proses dan tolak ukur dimana seseorang yang telah terpapar penyakit menular, baik apakah ia menderita penyakit tersebut atau tidak, maka orang yang bersangkutan diharuskan untuk tetap tinggal di rumah atau di tempat lain guna pencegahan penyebaran penyakit lebih lanjut kepada orang lain, serta untuk memantau efek penyakit serta kesehatannya dengan cermat dan teliti.

Konsep dari pada karantina ini merupakan sebuah proses dan tolak ukur yang diajarkan oleh Nabi, Saw., lebih dari 14 abad yang lalu. Namun ada juga yang menegaskan, berpendapat bahwa Islam adalah agama yang pertama kali membangun konsep karantina.

Nabi, Saw., sungguh telah menjelaskan mengenai dasar-dasar konsep karantina dalam banyak hadis-hadisnya secara jelas dan gamblang. Nabi, Saw., melarang orang untuk memasuki sebuah negeri yang yang terpapar penyakit al-thā'ūn, dan juga melarang penduduk negeri yang terpapar penyakit tersebut untuk keluar darinya. Bahkan Nabi, Saw., menegaskan bahwa keluar dari negeri yang terpapar penyakit menular itu termasuk perbuatan lari dari medan tempur (termasuk dosa besar), dan menyediakan bagi orang-orang yang bersabar atas wabah atau penyakit al-thā'ūn ini pahala syahīd.

Pelarangan manusia dari masuk ke sebuah negeri yag terpapar wabah merupakan sebuah hal yang eksplisit dan tersurat (mudah dipahami), namun untuk urusan pelarangan keluar bagi orang yang berada di negeri yang terpapar wabah menular tersebut, meski sehat dan tak terserang penyakit, sebagai hal yang tak dapat dimengerti. Karena orang sehat yang tinggal di negeri epidemi seharusnya melarikan diri ke negeri yang sehat lainya, sehingga ia tidak akan terinfeksi. Namun logika ini salah, dan baru dipahami di akhir-akhir zaman ketika ilmu pengetahuan dan kedokteran berkembang.

Menurut Dr. Muhammad Ali Al-Bar menyatakan bahwa pengobatan mutakhir telah membuktikan bahwa orang yang sehat di wilayah epidemi dapat menjadi pembawa mikroba, meskipun ia tidak sakit atau menunjukkan gejala sakit.

Cina telah melancarkan penerapan karantina di kota Wuhan (pusat wabah), di samping kota-kota yang dekat dengannya, sementara Italia juga menerapkannya di beberapa kota setelah penyakit ini berkembang. Di Spanyol, pada 14 Maret 2020 pemerintah mengumumkan penerapan karantina ke seluruh negara.

Nabi, Saw., mendorong umatnya untuk mentaati sejumlah arahan terkait masalah-masalah penularan.

وفر من المجذوم كما تفر من الأسد

"Dan berlarilah dari penyakit kusta seperti engkau lari dari singa”. (HR. Al-Bukhari)

إذا سمعتم الطاعون بأرض فلا تدخلوها وإذا وقع بأرض وأنتم فيها فلا تخرجوا منها

“Kalau kamu semua mendengar penyakit al-thā'ūn (wabah penyakit) suatu daerah, maka jangan masuk ke dalamnya. Dan ketika (wabah) telah memasuki suatu daerah sementara kamu semua berada di dalamnya, maka jangan keluar darinya.” (Muttafaq ’alaihi)


0 Comments