Politik Dagang Jasa Pemimpin Dunia di Balik Normalisasi UEA-Israel

Kamis, 20 Agustus 2020 | 06:05

Opini
Muh. Thoriq Aziz Kusuma
(Praktisi Studi Islam dan Arab)
Kesepakatan damai Emirat dengan Israel ini merupakan gempa bumi geopolitik yang bergema di seluruh wilayah Arab dan dunia Islam.

Perantara Nasional, Kota Surakarta – Dunia Islam tercenang mendengar kabar resmi bahwa Uni Emirat Arab (UEA) telah membangun hubungan diplomatik secara penuh dengan Israel pada Kamis, 13 Agustus 2020. Kesepakatan tersebut dicapai setelah bertahun-tahun UEA mencoba langkah-langkah menuju normalisasi informal, namun  gagal melepaskan diri dari posisi sahabat karibnya Arab Saudi, yang mana Arab Saudi telah lama berdiri dan secara resmi menandatangani kesepakatan damai dengan Israel.

Sesungguhnya keputusan damai itu tidak serta-merta terjadi. Dalam beberapa tahun terakhir, Emirat telah menjadi tuan rumah bagi para menteri dan atlet Israel, berpartisipasi dalam konferensi keamanan maritim bersama para pejabat Israel serta mendukung perjanjian kerja sama teknologi antara perusahaan Emirat dan Israel, bahkan mengundang Israel secara khusus ke Dubai Expo.

Kesepakatan damai Emirat dengan Israel ini merupakan gempa bumi geopolitik yang bergema di seluruh wilayah Arab dan dunia Islam.

Namun nampaknya jika hal di atas dipahami dengan pembacaan politik global, maka kesepakatan damai dan hubungan diplomatik penuh antara Emirat dan Israel itu hanyalah sebuah taktik artifisial untuk meningkatkan pencapaian kebijakan luar negeri pemerintahan Trump menjelang pemilihan. Secara nyata, kesepakatan itu tidak lain adalah perdagangan barang dan jasa para pemimpin dunia.

Ketahui pada hari Kamis (13/8) pekan lalu, Presiden Trump mengumumkan bahwa diplomat AS telah menengahi sebuah terobosan besar, bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu akan menunda rencananya untuk aneksasi sepihak tanah Palestina yang diduduki dengan imbalan normalisasi dengan negara Teluk Arab yang kecil tapi kaya. Yang menjadi masalah, terobosan ini bukanlah sebuah prestasi dan tidak akan pernah membawa perdamaian antara orang Israel dan Arab dalam waktu dekat atau mendatang. Terobosan ini gagal memberikan peta jalan bahkan untuk akhir dari pendudukan Israel selama puluhan tahun di tanah Palestina, tanah Arab.

Sebetulnya Trump ingin mengandalkan kesepakatan normalisasi UEA-Israel untuk mengubah nasib politiknya. Seperti yang dirilis dari Kantor Oval bahwa langkah Emirat akan membantu Trump mendapatkan dukungan dari sektor pemilih Amerika yang pro-Israel dalam pemilihan presiden mendatang. Diharapkan kemenangan kebijakan luar negeri AS terutama yang menyenangkan hati Israel, dapat membantu Trump pada saat dia tertinggal jauh di belakang calon presiden dari Partai Demokrat Joe Biden di hampir setiap jajak pendapat.

Dukungan tambahan yang diharapkan ada dari kesepakatan itu untuk Trump kemungkinan akan menjadi tidak penting dalam menentukan hasil pemilihan, mengingat kegagalan signifikan Trump di front domestik. Kebijakan luar negeri tidak pernah menjadi perhatian utama para pemilih Amerika, bahkan di saat-saat yang menyenangkan. Saat ini, yang paling dipedulikan sebagian besar orang Amerika adalah pandemi virus Corona dan dampak buruknya pada ekonomi, pengangguran yang tinggi, serta masa depan demokrasi Amerika dan integritas pemilu. Mencetak gol untuk Israel dalam hubungannya dengan dunia Arab tidak mungkin dilihat oleh para pemilih sebagai faktor penentu dalam pilihan presiden AS mendatang.

Bernasib sama dengan Trump, Netanyahu yang berharap mendapat ekses positif dari normalisasi untuk kemulusannya menang langsung dalam kemungkinan pemilihan umum keempat Israel di waktu kurang dari dua tahun. Namun Netanyahu saat ini harus menelan pil pahit, ia harus menghadapi protes besar atas gagalnya menanggani pandemi virus Corona secara efisien dan kemerosotan ekonomi Israel, ditambah lagi soal investigasi korupsi, yang dijadwalkan berlangsung awal tahun depan.

Putra Mahkota Sheikh Mohammed bin Zayed, yang juga merupakan wakil komandan tertinggi Angkatan Bersenjata Uni Emirat Arab, telah menderita kekalahan militer dan politik baik di Yaman maupun di Libya, dan tentunya membutuhkan kemenangan diplomatik untuk mendapatkan kembali kekuasaannya. Ia pun juga harap hasil positif dari normalisasi ini.

Perdamaian sejati hanya akan datang dengan komitmen serius untuk mengakhiri pendudukan Israel di tanah Arab serta mendukung terciptanya negara Palestina yang demokratis dan damai yang dapat berdiri berdampingan dengan aman dan terjamin. Sampai saat itu, semua hanya akan menjadi bagian dari sirkus diplomatik yang ecek-ecek.

Perjanjian damai dengan Israel oleh suatu negara tidak diperbolehkan selama penjajahan Israel atas Palestina masih berlanjut. Oleh sebab itu, yang semestinya dikerjakan bangsa-bangsa Muslim dan Arab adalah bekerja sama dan tolong-menolong agar Palestina dikembalikan seperti semula, hidup di tanah sendiri tanpa adanya penjajahan. Allāhul musta'ān.

0 Comments