Apa Benar Umat Islam Masih “Lemah Iman”?

Islam datang membawa misi yang sangat universal. Salah satunya menuntun, mengarahkan, ngemong setiap individu muslim, setiap keluarga muslimah, setiap kelompok masyarakat atau komunitas muslim, tidak berhenti sampai disini saja, tetapi juga merintis bangsa-bangsa muslim untuk selalu menjadi contoh yang baik di semua dimensi kehidupan. Baik itu urusan duniawi maupun akherat, baik yang berkaitan dengan keimanan maupun kemanusiaan, dan seterusnya. Sembari terus berjuang tanpa ragu-ragu untuk mendakwahkan ajaran islam kepada seluruh umat manusia di muka bumi ini.

Dari setiap insan-insan muslim itu digadang-gadang menjadi pribadi yang mukminah, mengenal Allah dalam arti betul-betul memahami agama Allah dengan sempurna sekaligus mencicil, menciptakan amal sholeh sebanyak mungkin. Kemudian harus selalu sadar akan datangnya kehidupan akherat, beriman kepada rukun iman yang enam itu, serta melaksanakan rukun islam yang lima ; syahadat, sholat, zakat, puasa, dan menunaikan ibadah haji, dan tidak ketinggalan untuk terus-menerus menghiasi diri dengan akhlaqul karimah sehingga menjadi contoh bagi semua umat manusia di dunia Allah ini. Seperti dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi : 

إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق

Yang artinya “sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan budi pekerti yang luhur.” 

Secara mudah saya katakan bahwa muslim yang diharapkan adalah muslim yang paripurna, mencakup seluruh dimensi kehidupan baik dalam hal aqidah, ibadah, akhlak, values, dan amal perbuatan. 

Saudara-saudara, jangan dilupakan bahwa setiap muslim adalah a part and parcel of the muslim community bagian yang tak terpisah dari masyarakat muslim. Tidak diperkenankan bagi seorang muslim mementingkan keshalehan dirinya saja, yang penting saya sholat, puasa, bisa naik haji, dan terserah orang lain mau ngapain. Ini tidak mencerminkan pribadi muslim yang paripurna. Jadi setiap kita adalah member of the housing and neighborhood in a living organism. Kalau sebuah masyarakat mengalami kemerosotan moral, kita ikut bertanggungjawab memperbaikinya. Kalau ada teman kita yang terzalimi, kita wajib membelanya. Kalau ada rekan kita yang memerlukan bantuan, kita bantu. Kalau ada kesenjangan sosial yang menganga antara si kaya dan si miskin, kita harus ikut serta mengatasinya. Inilah gambaran masyarakat muslim, satu dengan yang lainnya diikat oleh tali persaudaraan. Maka jika kita nisbatkan umat islam itu seperti batang tubuh kita, kalau organ bernama gigi merasa sakit, maka yang lain juga ikut merasakan sakit. Kepala ikut mikir, tangan ngelus-ngelus, kaki berinjak ke klinik, apotek dan lain-lain. Seorang muslim tidak akan menjerumuskan atau membiarkan muslim lainnya dalam kesusahan. Bahkan seorang muslim diwajibkan untuk saling nasehat-menasehati satu dengan yang lain. Seperti dalam surat pendek yang sering dihafal oleh adik-adik TK/TPA :

وَالْعَصْرِ * إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ * إِلاَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ   

Artinya : “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian.  Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan saling nasehat menasehati supaya menta’ati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS. al-‘Ashr [103] : 1-3)

Nasehat menasehati ini menjadi keutuhan prinsip, moral, dan etika umat Islam yang konstruktif, produktif, dan komunikatif dalam melaksanakan amal sholeh sebanyak mungkin dan menjahui hal-hal yang sifatnya destruktif. Tidak ada perbedaan antara laki-perempuan, tua-muda, kaya-miskin untuk saling nasehat menasehati. Yang tua ya dinasehati, yang muda ya dinasehati. Artinya tidak ada seorangpun yang kebal dari koreksi, kritik atau nasehat itu sendiri. Satu dengan yang lain punya tanggungjawab untuk saling nasehat menasehati. Jadi umat islam harus mempunyai entitas, identitas, dan integritas di tengah-tengah masyarakat. Firman Allah dalam Al-Qur’an :

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Artinya: “ Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma´ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”  At Taubah [9] : (71)

Tanggungjawab saling nasehat menasehati dalam kebajikan itu tidak sebatas di kalangan umat islam saja, melainkan juga kepada umat yang lain. Masyarakat muslim bertanggungjawab atas masyarakat non muslim untuk saling mengajak menuju perbaikan, di samping itu juga mendakwahi mereka dengan cara yang baik sekuat tenaga. 

Saudara-saudaraku sekalian, nah sekarang saya ingin bicara masalah politik. Gak apa-apa ya …? Sedikit masuk politik. Kita melihat the arab spring yang dialami oleh bangsa-bangsa arab. Dimulai dari Tunisia, lalu Mesir, disusul Libya, lantas Yaman, dan seterusnya. Salah satu dari revolusi bangsa-bangsa arab yang mendero-dero adalah revolusi Mesir 25 Januari 2011 silam. Revolusi ke-dua setelah revolusi Tunisia, meminta Mubarak untuk turun dari kursi kepresidenan dan akhirnya turun juga setelah delapan belas hari demo besar-besaran dan setelah ada bloodshed. Revolusi ini diusung oleh anak-anak bangsa yang menginginkan adanya perubahan dari pemerintahan yang otoriter menjadi pemerintahan yang lebih demokratis. Selama enam puluh tahun rakyat Mesir kehilangan kebebasan berpolitik, tiga puluh tahun di zaman Mubarak dan tiga puluh tahun lagi di zaman Abdul Nasser dan Sadat. Rakyat menginginkan adanya kebebasan berpendapat, freedom of speech, freedom of action, juga menghidupkan political liberty sehingga partai-partai banyak bermunculan, seta ingin menghapus political prisoners  yang sudah lama menahun di tubuh masyarakat mesir, mengembalikan hak-hak politik yang hilang, dan juga mengembalikan self dignity bangsa mesir. Sehingga revolusi 25 Januari ini bisa diwahyu artikan sebagai light of the end of the tunnel  untuk menapaki masa depan rakyat mesir khususnya dan bangsa-bangsa arab umumnya menuju ke arah yang lebih baik.

Saudara, berkat revolusi 25 Januari itu masyarakat Mesir sudah bebas dalam mengemukakan pendapatnya, freedom of speech  sudah dinikmatitidak ada lagi rasa takut untuk berbicara, tidak ada lagi namanya tembok bisa ngomong. Tidak dikang-kangi lagi oleh penguasa yang otoriter. Ini adalah nikmat yang agung pemberian Allah SWT yang patut disyukuri. Demokrasi, ya itulah kata yang sering kita dengar setelah Revolusi 25 Januari. Bagaimana rakyat Mesir menginginkan kehidupan yang lebih demokratis. Pemilihan umum adalah ciri utama demokrasi. Dan ternyata keinginan rakyat Mesir menjadi kenyataan. Mesir mampu merancang undang-undang yang baru, serta terpilihnya majlis asy-syab.  Dibuatnya komisi pembentukan undang-undang yang memakan waktu kurang lebih enam bulan. Berujung pada pesta demokrasi yang paling ditunggu-tunggu oleh rakyat Mesir yaitu pemilihan presiden secara langsung. Dan terpilihnya Dr. Muhammad Mursi sebagai presiden pertama terpilih secara demokratis dalam sejarah Mesir dan disaksikan oleh seluruh penjuru dunia. Tetapi kenyataan berbalik seratus delapan puluh derajat, setelah Menteri Pertahanan Jenderal  Abdul Fatah As-Sisi mengumumkan pelengseran Presiden terpilih Muhammad Mursi, dan penangguhan konstitusi pada 3 Juli 2013 . Lantas Pak Sisi mengangkat Adly Mansur sebagai Presiden Sementara Mesir. Padahal Pemerintahan Mursi baru berjalan kurang lebih satu tahun. Dan sekarang Mursi berada di rumah tahanan.

Dengan segala hormat, saya katakan bahwa apa yang terjadi pada 3 Juli 2013 itu adalah praktek kudeta. Yang jelas-jelas menunjukkan kemunduran terburuk bagi demokrasi di sebuah negara yang baru saja melakukan pesta atau hajatan  demokrasi yaitu pemilu setelah enam puluh tahun dikang-kangi penguasa otoriter. Sesungguhnya rakyat Mesir dari hari pertama jatuhnya Mubarak itu sudah hati-hati betul. Sudah seia-sekata bahwa yang diinginkan adalah Negara yang lebih demokratis. Presiden yang terpilih nantinya diberi kesempatan empat tahun untuk memperbaiki Negara ini beserta para menteri-menterinya, juga dibantu oleh elemen masyarakat yang lain. Memang yang namanya merusak itu lebih mudah jika dibandingkan dengan membangun. Sebuah konstruksi bangunan Negara yang mulai berjalan menuju perbaikan, tiba-tiba dirobohkan oleh parlemen jalanan. Jadi sesungguhnya menunggu itu lebih baik dari pada harus menurunkan Presiden di tengah jalan. Seperti orang yang terkena penyakit stroke sudah melakukan medical check up, dalam proses penyembuhan, sesudah itu malah jatuh stroke untuk kedua kalinya. Saya kira bangkitnya itu  (sembuh) akan lebih sulit lagi. Demokrasi itu akan berhasil bilamana diiringi dengan kepatuan pada konstituen yang ada, dan sabar menunggu. Perlu dipahami ada aturan main, sejengkel-jengkel rakyat pada presiden yang terpilih, ya tunggu dulu sampai empat tahun. Sebelum empat tahun tidak bisa. Kalau yang terjadi adalah tidak sabar menunggu, lalu merobohkan bangunan yang mulai mapan tadi, itu malah menjadi contoh buruk demokrasi bagi masyarakat dunia. Sesungguhnya kalau mau fair , harus menghormati dan mau menerima hasil dari demokrasi itu, menunggu setelah empat tahun. Dan presiden-presiden pasca Mursi akan berjalan seperti itu.

Pasca digulingkannya Presiden terpilih Dr. Muhammad Mursi, para pendukung, simpatisan, dan kelompok pro legitimasi mengelar aksi demo menuntut, meminta dikembalikannya Mursi ke jabatan semula dan konstitusi dipulihkan kembali. Sejarah mencatat demo yang digelar di Rab’ah ‘Adawiya itu mengemparkan dunia karena diliput oleh media sehingga penjuru dunia bisa menyaksikan. Anda tahu bahwa di Mesir bulan Juli dan Agustus lalu suhunya itu barangkali puncaknya panas, kemudian juga pas di bulan ramadhan. Kalau siang ya panas, ketika malam ya sholat tarwih berjama’ah juga sholat malam, jadi satu juz- satu juz. Para demonstran Rab’ah terus berdemo meminta dikembalikannya legitimasi. Kalau kita paham demokrasi, jangan sampailah terjadi kudeta. Karena hanya akan membawa kemelut yang berkesinambungan. Di alam demokrasi yang namanya perpindahan mandat hanya bisa dilakukan dengan jalan pemilihan umum. Jadi kalau ada parlemen jalanan keluar seperti laron berduyun-duyun, terus diartikan sebagai pelimpahan mandat. Itu salah besar. Seyogyanya militer, politisi, LSM, tokoh-tokoh agama dan lain-lain itu turun ke jalan untuk menjaga konstitusi yang ada. Bukan malah membiarkan parlemen jalanan merusak konstitusi itu.

Protes Rab’ah itu berakhir sangat menyedihkan. Pembubaran paksa oleh aparat dan disertai dengan bloodshed. Ini yang sesungguhnya tidak boleh terjadi. Di Negara yang terkenal dengan jagoan khutbah, negerinya para Nabi, Kiblatnya ilmu, ada Dar-‘Ulum, ada Jami’atul Azhar, lantas juga potret kehidupan agamis itu sangat kental sekali. Di mana-mana kita bisa temukan orang baca Qur’an, orang pegang tasbih, orang bershalawat, lantunan murotalan al-qur’an di sana-sini bisa kita temukan. Tetapi terjadi pembantaian massal terhadap para demonstran Raba’ah, ini tidak dibenarkan dengan dalih apapun, apalagi terjadi di bulan suci Ramadhan. Ini sangat memalukan. 

Apa komentar dunia … ? Dalam hal ini Washington. Lewat Secretary of State John F. Kerry, mereka mengatakan  tidak ada kudeta, apa yang dilakukan oleh Junta Militer itu adalah restoring democracy, itu adalah pernyataan ngawur, sedeng alias tolol. Mereka menganggap militer sudah betul bahwa demonstrasi di Rab'ah, Nahdhah, Ramsis, dan lain-lain itu adalah a national security threat sebuah ancaman bagi keamanan nasional. Artinya ini adalah sinyal buat militer mesir bahwa gedung putih merestui, ‘silahkan anda tembak rakyat anda sendiri, takrestui.’  Padahal kenyataannya apa yang terjadi di Mesir adalah praktek kudeta yang seharusnya dikecam secara sekeras-kerasnya. Kita di sini merasa sangat bersedih meyaksikan pasca  penggulingan Mursi ribuan masyarakat sipil tewas,  yang mayoritanya adalah kelompok pro legitimasi. Lalu muncul stigma buruk di ranah publik jagat raya ini bahwa  sepanjang penggulingan sebuah kekuasaan pemerintahan yang demokratis it's still oke menjadi tidak bermasalah,  jika mendapat restu dari Washington.

Jadi menurut hemat saya apa yang terjadi di Mesir itu tidak hanya menunjukkan matinya demokrasi tetapi lebih dari itu adalah  matinya rasa dari hakikat kemanusiaan. Siapapun dibalik tragedi Rab’ah dan lain-lain, harus bertanggungjawab. Siapapun itu harus diseret ke Mahkamah Internasional The International Criminal Court (ICC), karena telah melakukan kejahatan puncak terhadap kemanusiaan the ultimate crime against humanity. 

Amerika dengan kotak pandoranya ... Ya  belum lama setelah terjadinya kudeta Islamist prime minister Erdogan membuat pernyataan yang mengejutkan, “Israel di balik semua ini”. Bahkan Erdogan sangat berang sekali melihat dunia barat yang katanya adalah pejuang demokrasi, saviour, demokrat sejati. Tapi pada kenyataannya barat mendiamkan itu, dan mengatakan tidak ada kudeta, yang terjadi adalah it's restoring the democracy. Sejatinya mereka ingin mengatakan democracy is not about the ballot box, demokrasi bagi kami-kami ini adalah sesuatu yang mendatangkan profit, yang bisa melancarkan hegemoni ekonomi kami, demokrasi yang membela kepentingan-kepentingan korporatokrat, pendek kata demokrasi yang memuluskan kepentingan kami. Ini sesungguhnya adalah sebuah kicking away the ladder.  Dan saya kira apa yang dikatakan oleh Erdogan ada benarnya. Kehancuran bangsa-bangsa arab, kekacauan yang terjadi di negeri-negeri muslim tidak bisa lepas dari tangan-tangan Israel yang bisanya hanya merusak.

Saudara-saudaraku, saya masih ingat serangan Israel di jalur Gaza pada bulan November 2012 sebuah agresi militer yang mengakibatkan korban jiwa, dan sekitar tiga ratus tiga puluh orang terluka. Kemudian seberapa cepatnya  Mursi mengambil langkah-langkah publik dan secret policy. Sehingga akhirnya berujung pada dihentikannya serangan atas bangsa Palestina. Nah di sini saya memuji Mursi, inilah wujud keberhasilan kualitatif Mursi di dalam menangani masalah yang ada. Masih terekam di benak saya secara rapi apa yang dilakukan Mursi kala itu. Bahkan tidak kurang saya mendengar langsung dengan seksama, pas khutbah jum’at di masjid Azhar itu pak Khotib ikut memaparkan policy yang diambil Mursi. Ada enam langkah kongkrit yang diperbuat Mursi: 1. Memanggil duta besar Mesir dari Tel Aviv 2. Mengusir (Memulangkan) duta besar Israel dari Kairo 3. Mengumumkan pembukaan Rafah 24 jam sehari semalam 4. Mengutus Prime Minister Mesir Dr. Hisham Qandil dan juga degelegasi pejabat tinggi mesir ke jalur Gaza sebagai kunjungan solidaritas 5. Melakukan pertemuan darurat Liga Arab 6. Mendesak PBB untuk segera mengadakan pertemuan darurat untuk membahas dampak dari agresi militer Israel.

Lebih-lebih dikatakan dalam Israel news today bahwa secara blak-blakan Israel mengatakan; Ya kami menghentikan serangan darat di jalur Gaza setelah mendapat ancaman keras dari Presiden terpilih Muhammad Mursi bahwa ia akan membatalkan perjanjian Camp David. Tidak kurang Zvi Mazel mengakui bahwa policy yang diambil Mursi terkait dengan serangan di jalur Gaza itu mengindikasikan bahwa Mursilah musuh utama Israel. Mursi tidak segan-segan mengangkat isu Palestina sebagai masalah yang harus segera diselesaikan. Kurang lebih dalam pidatonya Mursi mengatakan : “from now on the issue of Palestine must become the issue of all Egyptian people”.  Inilah perbedaan yang tampak antara zaman Mursi dan Mubarak. Di zaman Mursi Mesir tidak lagi dipengaruhi oleh kontrol Amerika. Sedangkan zaman Mubarak Mesir adalah klien yang selalu mengiyakan kemauan Amerika, termasuk yang merugikan keamanan nasional Mesir. Jadi politik yang diterapkan Mubarak adalah soft politics, dengan demikian Ia mudah untuk didekte.  

Saudara-saudara, sesungguhnya revolusi khamsah wa ‘isyriin yanaayiir diusung oleh anak-anak bangsa yang ingin adanya change atau perubahan. Rakyat ingin rezim yang berkuasa saat itu untuk turun, rakyat menginginkan bangsa ini dibawa kepada kenyataan hidup yang lebih demokratis, artinya diatur sesuai prinsip-prinsip demokrasi. Mari kita merewind  beberapa tahun yang lalu. Jadi yang mempelopori / ujung tombak gerakan yang kemudian dikenal the arab spring, sejatinya rakyat Mesir yang menyalakkan api semangat revolusi, ingin menunjukkan pada dunia bahwa rakyat yang banyak ini bisa keluar dari kangkangan pemerintah otoriter.  Jadi mereka berkumpul dialun-alun Tahrir dan lain-lain. Lantas malah ditekan oleh penguasa otoriter untuk bubar dan kembali ke rumah masing-masing. Pada kenyataannya rakyatlah yang menang "a people rose up, and regimes fell." Itulah hari dimana kegembiraan tidak bisa diukur, karena saking gembiranya. Terbukalah pintu  revolusi, kehidupan demokrasipun akan segera dinikmati, bahkan tidak hanya itu vitalitas revolusi menyebar ke Negara-negara arab yang lain.

Setelah jatuhnya si Mbah Mubarak, tibalah masa transisi. Nah disinilah letak cacatnya revolusi 25 Januari, karena campur tangan militer yang ikut memahat politik masa depan. Tibalah pemilihan umum dan muncullah Mursi Presiden pertama yang terpilih secara demokratis dalam sejarah politik Mesir. Memang kala itu  Mursi berjanji akan menjauh dari urusan yang berbau kegolongan, artinya yang berafiliasi ke IM, dan memilih untuk bekerja atas nama rakyat. Ia pun bekerja menjalankan roda peremintahan. Ya, pemimpin yang berani itu akhirnya sunset, karena  ada unjuk rasa yang cukup besar di lapangan Tahrir. Sebagian dari mereka ikut mengajak petinggi Militer prompting the military leaders untuk menggulingkan Presiden yang terpilih secara demokratis itu. Ada yang menyebut kudeta, ada yang menyebut transisi yang sah atas tuntutan rakyat. Tetapi apapun namanya yang terjadi adalah konstitusi dibekukan dan supremasi hukum ditentukan oleh tangan-tangan Militer. Bahkan tidak kurang El-Baradai, the one's of Nobel Laureate dan juga mantan Director General of the IAEA, ia percaya bahwa kudeta militer itu adalah sesuatau yang sah justified, dengan alasan militer hanya menuruti kehendak rakyak.

Sesungguhnya hal yang memancing terjadinya unjuk rasa menentang Mursi itu adalah amandemen yang diusulkan Mursi terhadap undang-undang sementara tahun 2011 itu. Pasal 35 berisikan bahwa Dewan Syura terdiri dari beberapa anggota yang diatur oleh hukum, beranggotakan 132 anggota. Dua pertiga dipilih langsung  dan sepertiga lagi ditunjuk oleh presiden. Pasal 37 menyatakan Dewan Syura mengemban tanggungjawab penuh atas pemilu. Dan bertugas mempelajari dan merekomendasikan apa yang memang perlu untuk dipertahankan, demi persatuan nasional dan juga perdamaian sosial, melindungi elemen dasar dan highest values yang ada di masyarakat, serta menjaga hak  freedoms and general obligations. Maka dengan itu Dewan Syura akan membahas lebih detail hal-hal berikut; 1. Proposal perencanaan umum untuk pembangunan ekonomi dan sosial 2. Draft undang-undang yang mengacu pada Presiden. 3. Apapun keputusan Presiden harus mengacu pada Majlis Dewan Syura yang berkaitan dengan kebijakan publik negara, baik dalam maupun luar negeri.

Mursi dipahami oleh publik  ingin mendominasi kekuasaan. Dimana kursi parlemen dicengkram oleh partai  kebebasan dan keadilan. Masalah ini tambah ruwet, dan puncaknya terjadi pada  bulan November 2012. Mursi lewat juru bicaranya Yasser Ali menyampaikan bahwa tidak ada otoritas dari pihak yudisial kehakiman untuk membubarkan  majelis konstituante yang baru, Dewan Syura yang baru, dan semua deklarasi atau penyataan  konstitusional, hukum dan keputusan yang dibuat  sejak 30 Juni 2012 tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Inilah yang mengundang gerakan anti Mursi, dan ujung-unjungnya adalah unseating oleh militer.

Dalam konstek waktu itu, kita bisa lihat bahwa Mursi ingin berusaha  menempatkan posisi Presiden sekaligus Dewan Syura diatas aturan hukum konstitusianal yang ada untuk loosen the hold para petinggi militer. Karena ada tirani bahwa Militer masih memegang otoritas langsung, terkait policy negara dan perjanjian internasional. Tetapi ini malah menjadikan pemerintahan Mursi kurang efektif, karena dianggap memaksakan kehendak.

Nah sekarang saya ingin memberikan catatan untuk Al-Ihwan, saya kira Al-Ikhwan itu masih hijau pengalaman dan kurang mengerti permainan politik yang cantik. Jadi setelah terpilih jadi Presiden seharusnya Mursi lebih selektif dalam memilih para menteri dan kabinetnya itu. Sehingga Mursi dikepung oleh kekuatan fraksi yang loyal, kuat, dan perpecahan yang mengarah ke ranah pemerintahan bisa dihindari. Seharusnya Mursi tahu bahwa kekuatan lama masih bercokol di mana-mana. Salah satunya di tubuh militer-lah ya. Seharusnya diawal pemerintahannya itu Mursi mampu membuat paradigm force yang sudah dikomandani dan membatasi pengaruh Militer.

Jadi persoalannya itu, setelah revolusi bermunculan keinginan masyarakat yang eksesif dan berwarna-warni. Inginnya semuanya bisa diladeni, inginnya semua bisa diakomodir. Dalam kondisi yang seperti itu, begitu banyak perbedaan,  multi choice, maka barangkali the only thing to solve the problem dalam konstek itu adalah membangun oligarki kecil untuk sementara waktu. Dan itu sah-sah saja. Andaikata seperti itu kejadiannya, maka Mursi sesungguhnya tidak sendirian. Kalau kita pergi ke china, dari revolusi china muncul tokoh namanya Mao Tse Tung. Kalau kita pergi ke rusia, dari revolusi rusia ada Stalin. Kalau kita ke jepang, ada Meiji Ishin atau yang lebih dikenal dengan restorasi Meiji, perlu ketokohan seorang kaisar Meiji  untuk meredan perselisihan antar fraksi-fraksi politik pasca runtuhnya rezim tua Tokugawa.

Kadang saya heran, jadi dulu pas ada demo di Heliopolis Ittihadiyah yang berujung pada bentrokan dan sepuluh orang dikabarkan meninggal dunia. Dua dari penentang Mursi, delapan dari pendukung Mursi. Dan reaksi khalayak dan media mesir itu luar biasa. Bahkan sampai ada yang mengatakan Mursi is murder machine. Jadi bagaimana publik memberikan koreksi yang luar biasa. Di kalangan LSM, wartawan, kaum intelektual, warga yang terdidik dan tidak terdidik, semua berani memberikan koreksi. Demo menuntut Mursi dan kawan-kawannya atas tuduhan pembunuhan terhadap demonstran yang tewas di Heliopolis itu. Tapi sekarang, setelah melihat peristiwa di Rab’ah, di Ramsis, di Nahdhah, khalayak dan media mesir tenang-tenang saja. Tidak bersuara. Justru yang saya kira paham itu malah Muhammad Mursi. Jadi ketika ribuan pendemo mengepung istana Negara, bahkan lempar-lembar batu, merobohkan gerbang istana. Tetapi meskipun demikian situasinya dan terjadi di istana Negara, Musri tetep berpesan kepada aparat yang berjaga-jaga untuk tidak menembaki demonstran apalagi sampai nyawa melayang. Memang harus diakui dan kita semua merasa bersedih karena dua hari setelah demo beransur ada korban jiwa. Tetapi yang perlu kita potret di sini adalah korban jiwa itu terjadi karena showdown antar pendemo. Penentang dan pendukung presiden, dan bukan dari tangan aparat. Tetapi kalau di Rab’ah, di Ramsis, itu jelas-jelas peluru tajam aparat mengenai para demonstran. Disayangkan masih ada yang pura-pura tidak tahu. Padahal jumlah korban lebih banyak, e orang pada diam. Saya sendiri barangkali beda pandangan dengan Mursi, tetapi saya kira Mursilah yang mempunyai concern supaya pertikaian itu bisa dihindari. Mursi dituntut dengan tuduhan pembunuhan sepuluh orang di Heliopolis. Tetapi tragedy Rab’ah dan dalang dibelakangnya, orang pura-pura gak lihat. Ini aneh bin lucu di era modern ini.

Sesungguhnya amerika itu punya decisive role untuk mengakhiri konflik yang terjadi di mesir ini. Karena mesir adalah sekutu dekat amerika selama kurang lebih empat dekade, yang setiap saat bisa geleng angguk dengan amerika. Tetapi apa yang dikatakan amerika adalah ‘restoring democracy’ , restoring gundulmu amoh iku. Sebagai pengamat obyektif itu jelas-jelas menciderai nilai dan prinsip demokrasi. Warga amerika yang jujur mengatakan bahwa presiden obama adalah admin comlicit in egypt violence, in egypt crimes. Jadi saya ulangi sekali lagi, bahwa sesungguhnya mereka, amerika itu mampu mengentikan penggunaan kekerasan atau violence itu, tetapi mereka tutup mata, pura-pura tidak melihat.  Karena mereka tahu bahwa yang menang di mesir itu adalah umat islam. Mereka rela menghianati prinsip dan nilai-nilai demokrasi  yang mereka perjuangkan selama ini. Jadi mereka kecewa besar karena setelah umat islam  menerima demokrasi ternyata yang memang adalah Al-Ikhwan. Kalau Ihwan dibiarkan berkuasa, kan kanker. Jadi kesimpulannya Amerika Serikat membiarkan bloodbath terjadi di bumi mesir ini. 

Melihat tragedi Rab’ah itu seharusnya umat islam mengcondemn sekeras-kerasnya. Tetapi saya melihat di tubuh orang islam sendiri tidak sesatu suara. Ada apa dengan orang islam ? Melihat saudaranya terdzalimi, kok masih saja diam. Memang sesungguhnya ini menjadi sebuah delema. Pihak militer juga muslim, yang dibantai juga muslim. Sama-sama muslimnya, kenapa harus pistol yang bicara. Kalau sudah begini yang harus kita bela adalah si lemah, yang teraniaya. Nabi saw pernah bersabda: 

من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضهف الإيمان

Terserah saudara mau mendefinisikan bagaimana, apakah yang diinginkan dari lafadz dzalika itu adalah menunjukkan isyarah lil ba’iid atau bagaimana. Tetapi yang jelas menurut saya kalau ada kemungkaran, kedzaliman, kebiadaban, masih ada sikap destructive, bukan hanya membabat hutan, tapi manusia juga ikut dibabat, yang jelas-jelas manusia itu adalah a’dhamu bunyaani rabbi . Andaikata itu yang terjadi dan orang  islamnya kok masih diam, entah itu dia ditekan, atau masih takut atau tidak punya power, atau punya power tapi malah membiarkan, dan tidak peduli, atau mendo’akan saja di dalam hati, itu barangkali orang islamnya masih lemah iman. Mendoakan itu baik, bahkan itu sebuah indikasi yang sangat bagus sekali bahwa kita masih punya kepedulian terhadap rekan-rekan kita seaqidah. Tetapi akan lebih baik lagi kalau kita bisa membantu langsung kawan-kawan kita yang terdzalimi itu, melalui kita punya powerpolitical force, economic force, diplomatic force, dan seterusnya.

Saya sendiri  merasakan di era Dr. Muhammad Mursi itu seperti telapak tangan yang putih, yang mengahap ke atas.  Artinya kehidupan demokratis itu betul-betul dinikmati, mass media itu giat sekali menyoroti kerja pemerintah, orang bebas mengkritik, orang bebas untuk berbicara, tidak ada lagi tahanan politik political prisoners, political liberty pelan-pelan dipulihkan kembali, bahkan kebebasan dalam berkhutbahpun dinikmati. Tetapi telapak tangan yang mengadap ke atas tadi, tiba-tiba dibalik, yang dulunya terang, sekarang gelap lagi. Namanya itu dalam bahasa arab ‘inqilaab’. Yang terjadi sekarang orang takut berbicara, media tidak lagi punya taring, sekarang jadi ompong, orang berkhutbah dibatasi, political prisoners dimana-mana. Saudaraku itu betul, dulu pas zaman pak Mursi itu, di bus, di pasar, di terminal, dimana-mana orang bebas berbicara politik, bebas mengkritik, menghantam policy pemerintah, mengoreksi kinerja pemerintah dan lain-lain. Tapi sekarang lihatlah saudara, orang menghindari bicara politik, materi khutbah dibatasi. Sekarang yang terjadi adalah militery want to stay in power as long as possible, militer menanamkan psychology of fear pada semua elemen masyarakat, baik pengawai negeri, wartawan, pelajar, sopir, pedagang, pekerja bangunan dan lain-lain. Jadi kesimpulannya sekarang adalah military is controlling the intelligence,  controlling the mass media,  controlling the muslim intellectual and etcetera etcetera,  I don't know that …

Kelemahan bangsa-bangsa muslim sekarang itu, mereka giat sekali membicarakan tentang zakat, tentang riba, tentang keutamaan ritual ibadah yang macam-macam itu, keutamaan sholat lail, keutamaan membaca sholawat nabi, dan seterusnya. Itu semua sudah bagus, dipertahannkan. Tapi masih ada yang kurang, yaitu masalah jihad. Mereka berani dan rajin sekali membicarakan zakat, riba dan lain-lain tadi, tapi mereka diam-diam alergi atau takut membicarakan soal jihad. Jadi kenapa yang namanya ihwanul muslimin itu kok masih tetap ada, padahal sudah ditekan oleh penguasa, tokoh-tokohnya ditangkapi, tetapi ihwanul muslimin malah bisa sampai ke Turki, ke Tunisia, ke yordania, bahkan ke Amerika-Eropa dan lain-lain. Itu semua karena al-ikhwan tidak pernah alergi pada kata jihad, kata jihad selalu melekat di tubuh ihwanul muslimin.

Sebetulnya saya sangat kecewa sekali terhadap keputusan yang diambil oleh  wizaratul auqaaf yang menetapkan bahwa tidak diperkenankan adanya political action disetiap khutbah jum’at. Kalau political party saya setuju, malah harus itu. Tetapi kalau political action, itu saya kira aturan yang kelewatan. Jadi seorang khaatib tidak boleh berbicara tentang maa hukmu qatlil insan ? apa hukum membunuh manusia ?, maa hukmul khiyaanah ? apa hukum khianat ? dan lain-lain. Nah kalau sudah begitu, saya tidak tahu apa nanti jadinya. 

Rekanku semua, sesungguhnya saya juga meragukan tuduhan yang sekarang dinisbatkan ke al-ikhwan. Bahwa ikhwanul muslimin itu gerakan teroris. Kalau militer mesir mengaku sebagai khairu junuudil ardh sebagus-bagus tentara di muka bumi ini, mana mungkin di negeri kinanah ini ada teroris, pasti sudah dibekuk, pasti sudah ditanggap. Jadi tidak ada di mesir itu terorisme. Kalaupun di mesir itu ada teroris, dari mana dapat detonator, bagaimana bisa merakit bom itu, dan ini pasti oleh pemerintahan ala kudeta Adly Mansur dianggap sebagai undeclared warfare dan langsung pelakunya itu ditanggap. Karena kata orang mesir sendiri misr kullaha uudhah, shaalah wa geneena, jadi teroris mau ngumpet di lobang semutpun bisa ditangkap. Saya rasa di mesir tidak ada itu namanya teroris, itu hanya mengkambinghitamkan orang-orang ikhwan saja, yang notabenenya adalah gerakan islam. Sesungguhnya bangsa mesir ini harus melakukan instrospeksi jama'ii, instrospeksi total setelah tragedi di Rab’ah itu. Ya pihak militer, ya pihak orang-orang sekuleris, pihak al-ikhwan, pihak al-azhar juga, karena sebagai kiblatnya ilmu, semua pihak, intelektualnya, senimannya, birokratnya, pendek kata semua komponen bangsa. Jangan sampai kita sudah merasa beribadah, sudah merasa menjalankan kewajiban, lantas tidak instrospeksi. Jadi menuduh ihwan sebagai gerakan teroris, itu menunjukkan kalau yang menuduh itu mbodoni dan malah merugikan bangsa mesir yang mayoritasnya itu umat islam. Selama ihwanul muslim tetap memperjuangkan palestina, tetap membuat jamiah khairiyah, tetap membuat amal sholeh sebanyak mungkin, menyantuni anak yatim, fakir-miskin dan kaum dhu’afa, dan lain-lain. Selama itu ikhwan akan tetap ada. 

Mengutip perkataan Imam Syafi’I : "Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar."

Wa-akhiran, nas alullaha tabaaraka wata’aala ay-yanshural madzlumiina ‘aladh-dhoolimin ya rabb …..

0 Comments