Beriman kepada Qadhā dan Takdir Secara Benar, Begini Penjelasannya


Beriman kepada Qadhā dan Takdir Secara Benar, Begini Penjelasannya
Muh. Thoriq Aziz Kusuma

Google pic.

Vokalberdakwah, — Adalah iman kepada qadhā dan takdir Allah, Swt., merupakan salah satu dari rukun iman yang enam. Terlebih merupakan manifestasi dari iman kepada Allah, Swt. Mewakili ketetapan dan undang-undang dasar mengenai iman kepada takdir, yakni firman Allah, Swt., Q.S. Al-Qamar: 49.

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan al-qadar (takdir).”

Oleh ‘Ubādah Ibn Al-Shāmit mengatakan kepada anaknya,

 يا بنى إنك لن تجد طعم حقيقة الإيمان حتى تعلم أن ما أصابك لم يكن ليخطئك وما أخطأك لم يكن ليصيبك سمعت رسول الله صلي الله عليه وسلم يقول : « إن أول ما خلق الله القلم، فقال له : اكتب. قال : رب وماذا أكتب ؟ قال : اكتب مقادير كل شيء حتى تقوم الساعة ». يا بنى إني سمعت رسول الله صلي الله عليه وسلم يقول : « من مات على غير هذا فليس منى »

(Wahai anakku sayang, sesungguhnya kamu tidak akan pernah mendapati rasa hakikat keimanan sehingga kamu mengetahui bahwa apa yang menimpamu (yang sudah ditakdirkan) maka tidak akan pernah meleset darimu dan apa yang belum menimpamu (yang belum ditakdirkan) maka tidak akan terkena kepadamu, aku telah medengar Rasulullah, Saw., bersabda: “Sesungguhnya pertama kali yang Allah ciptakan adalah pena,” lalu Ia berfirman kepadanya: “Tulislah”, pena bertanya: “Wahai Rabbku, apa yang aku tulis?”, Dia berfirman: “Tulislah takdir-takdir setiap sesuatu sampai dibangkitkan hari kiamat.” ‘Ubādah berkata: ”Wahai anakku sayang, sungguh aku telah mendengar Rasulullah, Saw., bersabda: “Barangsiapa yang meninggal di atas (keyakinan) selain ini, maka ia bukan dariku.”)[1]

Bersabda Rasulullah, Saw., kepada Ibnu ‘Abbas, Ra.,

واعلم أن الأمة لو اجتمعت على أن ينفعوك بشيء لم ينفعوك إلا بشيء قد كتبه الله لك، ولو اجتمعوا على أن يضروك بشيء لم يضروك إلا بشيء قد كتبه الله عليك رفعت الأقلام وجفت الصحف

“Dan ketahuilah, bahwa seluruh makhluk (di dunia ini), seandainya pun mereka bersatu untuk memberikan manfaat (kebaikan) bagimu, maka mereka tidak mampu melakukannya, kecuali dengan suatu (kebaikan) yang telah Allah tuliskan (takdirkan) bagimu, dan seandainya pun mereka bersatu untuk mencelakakanmu, maka mereka tidak mampu melakukannya, kecuali dengan suatu (keburukan) yang telah Allah tuliskan (takdirkan) akan menimpamu, pena (penulisan takdir) telah diangkat dan lembaran-lembarannya telah kering.” [2]

Yang seharusnya bagi seorang Muslim untuk menyakini dengan keyakinan yang penuh, bahwasanya tiada ada fi’il atau amal perbuatan/aktivitas kecuali milik Allah, Swt., bahwa sesungguhnya segala yang terjadi, yang tidak terjadi dan yang akan terjadi  di alam jagad raya ini, adalah fi’il atau perbuatan Allah, Swt., bahwa sesungguhnya Allah, Swt. telah menetapkan fi’il ini sejak zaman azali (dahulu kala).

Terdapat hikmah yang agung, atau bisa juga dikatakan blessing in this guise, hikmah tersembunyi, pada masalah qadhā dan takdir ini, yakni hikmah cobaan atau ujian terhadap masalah rida kepada Allah, Swt. Manusia tidak mengetahui apa yang ditetapkan untuknya besuk, oleh sebab itu sudah menjadi haknya untuk berharap, dan berusaha untuk mewujudkan apa yang ia inginkan dengan jalan yang masyrū' (sah) dan diperbolehkan. Bahwa tatkala tidak terwujud apa yang menjadi cita-cita dan impiannya, dan berbeda apa yang disusun makhluk (manusia) dengan apa yang dikehendaki Sang Khalik, maka akan nampak iman yang hakiki. Jika apa yang disusun dan ditetapkan Sang Khalik lebih dicintai oleh makhluk ketimbang apa yang ia susun untuk dirinya sendiri, maka itulah mukmin yang saleh. Jika ia mencaci, enggan dan menolak, serta membenci apa yang disusun dan ditetapkan Sang Khalik, maka itulah pemaksiat yang pendek akal (bodoh). Dan tindakan seseorang yang tidak rela serta membenci ketetapan Sang Khalik mengakibatkan dirinya keluar dari millah (agama). 

Iman kepada qadhā dan takdir adalah ekspresi nyata iman kepada Allah, Swt. Jika kamu beriman kepada wujud Allah,  Swt., kepada sifat-sifat kesempurnaan, kebesaran dan keindahanNya, maka kamu wajib beriman kepada konsekuensi dari sifat-sifatNya, yakni segala perbuatan-perbuatanNya, Swt. Iman kepada perbuatan-perbuatan Allah, Swt., ialah dengan beriman atau menyakini bahwa sesungguhnya tidak ada perbuatan kecuali milik Allah, Swt., semata, serta rida atas apa yang berasal dariNya di alam semesta ini, sehingga betul-betul menjadi hamba yang rabbani.

Tidak dinafikan antara keyakinanmu bahwa perbuatan adalah milik Allah semata, dan keberadaanmu yang dapat memilih dan berkeinginan. Sesungguhnya pilihan manusia dan keinginannya adalah sebuah kenyataan yang jelas dan nyata yang tidak dapat dipungkiri oleh orang yang berakal. Dan barangsiapa mengingkarinya, maka ia telah berdusta kepada kenyataan yang jelas dan nyata, serta berdusta kepada nash-nash Al-Quran, yang mana telah ditetapkan bagi manusia untuk memiliki kemampuan, keinginan dan pilihan.

Allah, Swt., berfirman:

وَهَدَيْنٰهُ النَّجْدَيْنِ ۚ 
"Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan)." (Q.S. Al-Balad : 10)

مِنْكُمْ مَّنْ يُّرِيْدُ الدُّنْيَا وَمِنْكُمْ مَّنْ يُّرِيْدُ الْاٰ خِرَةَ ۚ

"Di antara kamu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada (pula) orang yang menghendaki akhirat." (Q.S. Ali 'Imran : 152)

Maka yang sahih pada persoalan ini adalah kamu menetapkan pada dirimu perbuatan dan pilihan, dan kamu berkeyakinan bahwa Allah, Swt.,  adalah yang berbuat dan yang memiliki segala urusan, segala urusan tidaklah keluar dari wilayah kekuasaanNya.

Takdir adalah rahasia Allah, Swt., pada ciptaanNya. Oleh sebab itu sebagian orang-orang arif, seperi Abū 'Abbās Al-Harītsī menyatakan, barangsiapa melihat ciptaan dengan kacamata syariah maka akan melahirkan kebencian. Dan barangsiapa melihatnya dengan kacamata hakikat akan melahirkan pemakluman. Orang yang arif akan senantiasa berpandangan tajam terhadap ciptaanNya. Allah,  Swt., Maha Tinggi dan Maha Mengetahui.






[1] Diutarakan oleh Ahmad dalam Mustadnya juz 5 halaman 317, diriwayatkan Abu Daawud dalam Sunannya juz 4 halaman 225, dan oleh Al-Thabraanii dalam Al-Kabiir juz 12 halaman 68.
[2] Diutarakan oleh Ahmad dalam Musnadnya juz 1 halaman 293, Al-Tirmidzii dalam Sunannya juz 4 halaman 668, dan Ibnu Hanaan dalam Shahihnya juz 1 halaman 355

0 Comments