Filsafat Gizi dan Pangan dalam Islam

Sabtu, 1 Agustus 2020 | 07:45

Written by Muh. Thoriq Aziz Kusuma

Filsafat Gizi dan Pangan dalam Islam

Vokal Berdakwah,
 Kabupaten Boyolali –  Islam sebagai agama yang hidup telah mengambil pengaruh yang mendalam dalam kehidupan manusia dalam segala hal, termasuk masalah gizi dan pangan. Masalah yang menjadi pangkal persoalan seluruh umat manusia di dunia.

Sejatinya Islam telah mengkoneksikan setiap perilaku seorang Muslim dalam kehidupannya dengan tujuan yang agung dan mulia. Tujuan itulah yang membuat seorang Muslim berjuang untuk hidup,  tujuan tersebut ialah beribadah kepada Allah, Swt.

قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ

"Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam." (QS. Al-An’am: 162)

وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." (QS. Al-Bayyinah: 5)

Gizi dan pangan merupakan kebutuhan setiap individu Muslim dalam hidup mereka, dan tujuan hidup mereka ialah bertakwa dan taat kepada Allah, Swt., yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Penggunaan gizi dan pangan ini dengan maksud untuk menyediakan energi yang diperlukan bagi tubuh dan untuk menjaga kesehatan serta untuk dengan cara yang memastikan kelangsungan hidup dan kontinuitas manusia dalam melaksanakan tugas dan peribadatan kepada Allah, Swt., juga untuk merekonstruksi bumi sesuai dengan manhaj Illahi.

Sahabat Mu’adz mengatakan,

أَمَّا أَنَا فَأَنَامُ وَأَقُومُ فَأَحْتَسِبُ نَوْمَتِي كَمَا أَحْتَسِبُ قَوْمَتِي

“Jika aku, kadang aku tidur dan salat malam. Aku berharap pahala dari tidurku, sebagaimana aku berharap pahala dari salat malamku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Perhatikanlah bagaimana jawaban Mu’adz. Di malam hari ia tidur, namun ia niatkan agar bisa bangun dan segar untuk salat malam. Sehingga ia pun berharap pahala dari tidurnya, sebagaimana beliau berharap pahala dari ibadah salat malam yang ia kerjakan.

Inilah di antara ciri orang yang selalu ingat kepada Allah, Swt., selalu ingat tujuan penciptaannya, yaitu untuk beribadah kepada Allah, Swt.

Filosofi semacam ini membawa dampak besar dalam merasionalisasi cara pandang kaum Muslimin mengenai masalah gizi dan pangan, serta membimbing mereka dalam berinteraksi dengan masalah tersebut.

Gizi dan pangan dipandang oleh masyarakat Muslim sebagai sarana dan bukan tujuan akhir.  Seorang Muslim itu tidak memperjuangkan dan mendapatkan gizi dan pangan untuk memuaskan keinginan dan syahwatnya, melainkan ia memperjuangkan tujuan yang mulia, yakni melanjutkan keberlangsungan hidupnya demi beribadah kepada Allah, Swt.

Dengan demikian, seorang Muslim akan mencukupi kebutuhan dan asupan gizi dan pangan, serta tidak berlebihan atau isrāf dalam mengkonsumsi makanan, dan itu juga membebaskan dirinya dari berbagai masalah kesehatan. Kita tahu bahwa beragam penyakit itu bersumber dari makanan, atau pola makan yang berlebih dan tidak sehat.

Islam mewajibkan pemeluknya untuk melindungi tubuh mereka dan menghindari semua hal yang membahayakan bagi mereka.

وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

"Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (QS. Al-Nisa: 29)

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

"Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri ataupun orang lain." (HR. Ahmad)

Ḍarar (melakukan sesuatu yang membahayakan) dilarang di dalam syari’at Islam. Maka, tidak halal bagi seorang Muslim mengerjakan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri atau membahayakan saudaranya sesama Muslim, baik berupa perkataan maupun perbuatan, tanpa alasan yang benar. Dan semakin kuat larangan tersebut jika ḍarar itu dilakukan kepada orang-orang yang wajib dipergauli secara ihsân, seperti karib kerabat, isteri, tetangga, dan semisalnya.

Sudah menjadi kewajiban bagi Muslim untuk memenuhi kebutuhan gizi dan pangannya, serta  semua nutrisi yang dibutuhkan tubuh agar tubuh tetap sehat dan aman dari penyakit, serta untuk menghindari makanan apapun yang berbahaya dan menyebabkan masalah kesehatan dan penyakit bagi tubuh.

Pemenuhan gizi (nutrisi) dan pangan memiliki peran penting dalam menjaga kesehatan tubuh. Makan dan minum memiliki tempat khusus dalam doktrin Islam. Masalah pangan sangat penting pada aspek spiritual kehidupan seorang Muslim serta aspek somatik untuk menjaga kesehatan manusia. Dalam pandangan ini, orang Muslim  tidak akan makan dan minum untuk kesenangan atau menuruti hawa nafsunya, melainkan untuk mempertahankan kehidupan yang baik dan kesehatan fisik, agar terkontrol perilakunya serta dapat menjalankan tugas-tugas spiritual sebagai seorang hamba.

Sehingga kualitas dan kuantitas makanan akan mempengaruhi kesehatan mental dan spiritualnya. Spiritualitas adalah salah satu dimensi kesehatan. Gizi (nutrisi) dan pangan adalah salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi
kesehatan spiritual. Dengan ini, Islam mempertimbangkan pedoman untuk mendapatkan kerohanian yang sehat melalui pangan. Oleh sebab itu Islam melarang umatnya mengkonsumsi makanan yang dapat membahayakan tubuh manusia.

Islam adalah agama besar yang ajarannya berdampak pada semua aspek kesehatan manusia, termasuk kesehatan spiritual. Kita tahu bahwa konsep kesehatan dalam ajaran Islam mencakup dimensi fisik, mental, sosial dan spiritual.

Untuk mendapatkan kesehatan spiritual melalui makanan maka seseorang perlu memiliki kesadaran, perilaku dan campur tangan negera dan emosi tertentu dalam berinteraksi dengan hal-hal yang terkait. Dan siikap para pembuat kebijakan, politisi dan profesional kesehatan masyarakat secara efektif dalam merealisasikan kesehatan di berbagai bidang dimensi fisik, psikologis, sosial dan spiritual masyarakat Muslim.

لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ

Tidak ada shalat ketika makanan telah dihidangkan, begitu pula tidak ada shalat bagi yang menahan (kencing atau buang air besar).” (HR. Muslim).

Dalam hadits dari Anas, Ra., disebutkan,

إِذَا قُدِّمَ الْعَشَاءُ فَابْدَءُوا بِهِ قَبْلَ أَنْ تُصَلُّوا صَلاَةَ الْمَغْرِبِ ، وَلاَ تَعْجَلُوا عَنْ عَشَائِكُمْ

“Jika makan malam telah tersajikan, maka dahulukan makan malam terlebih dahulu sebelum shalat Maghrib. Dan tak perlu tergesa-gesa dengan menyantap makan malam kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Islam sangat perhatian terhadap salat sampai-sampai memerintahkan untuk konsentrasi dalam salat dan menghilangkan pikiran di luar salat. Artinya kondisi perut yang lapar dan hadirnya makanan, dapat memperngaruhi kekhusyuan dalam menjalankan salat. Oleh sebab itu semstinya makan terlebih dahulu baru kemudian salat dengan kondisi khusyu'.

Salat dengan penuh kekhusyu’an lebih utama daripada salat di awal waktu karena Rasul, Saw., menyarankan untuk makan lebih dulu supaya kekhusyu’an salat tidak terganggu dengan hadirnya makanan. Memilih untuk menyantap makan tidaklah mengapa walau salat jamaah nantinya luput. Hal ini manakala menyantap saat waktu salat itu bukan merupakan rutinitas dan telah rutin mengerjakan salat secara berjamaah, maka pahala berjamaah tetap dicatat.




0 Comments